MATA INDONESIA, JAKARTA – Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengemukakan bahwa benih intoleransi terlihat dari sikap tidak menghargai perbedaan dan kemajemukan. Selain itu, fanatisme yang berlebihan serta selalu menganggap pihak lain salah juga menjadi pemicu berkembangnya sifat intoleran menjadi radikal.
“Kalau kita merasa sesuatu sebagai kebenaran milik kita kan mereka mulai dari begitu itu maka dinilai sebagai intoleran pasif,” kata Hendardi kepada Mata Indonesia News, Kamis 18 Februari 2021.
Sikap inilah yang sulit untuk dideteksi karena tidak terlihat secara gamblang. Bila terus menguat berpotensi menciptakan polarisasi di tengah masayarakat.
Beberapa pihak yang memiliki sifat ini cenderung iri melihat orang lain yang lebih baik dan sukses. Kondisi ini membuat mereka merasa terganggu dan khawatir posisi sosialnya terancam pihak lain.
Hendardi juga menilai bahwa intoleran ada yang bersifat aktif, artinya pihak yang memiliki karakter intoleran tidak segan mengumbar sifat tersebut kepada publik. Mereka tidak lagi menyimpan hasrat intoleran untuk pribadi namun sudah dikemukakan ke publik.
“Tapi ketika sikap itu kita utarakan di publik nyatakan ke publik kita adalah yang paling benar, itu kita anggap sebagai intoleran aktif,” kata Hendardi.
Salah satu contoh transformasi intoleran yang beranjak ke radikalisme dan terorisme yaitu Bahrun Naim. Teroris yang terlibat dalam aksi bom di Sarinah, Jakarta Pusat pada tahun 2016. Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengemukakan bahwa Naim awalnya masuk kelompok intoleran yang akhirnya memilih jalur ekstrem dengan melakukan aksi teror.