MATA INDONESIA, KUPANG – WALHI NTT menggelar diskusi tentang kondisi terkini di Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo. Kegiatan diskusi ini dilakukan via zoom meeting bersama lembaga anggota WALHI NTT yang berada di NTT. Salah satu poin pembahasannya adalah terkait jasa wisata TNK yang kini ditangani oleh PD Flobamor.
Menurut Direktur Eksekutif WALHI NTT Umbu Wulang T. Paranggi, Pemprov NTT seperti menutupi siapa pengelola resmi TNK. Padahal TNK ini merupakan wewenang pusat lewat Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK).
“Sebab secara hukum TNK berada di bawah yurisdiksi KLHK. Penunjukan PD Flobamor untuk pengelolaan tiket di TNK adalah upaya untuk cari untung. Dan juga melangkahi tugas dan fungsi dari KLHK,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring pada Rabu, 3 Agustus 2022.
Umbu Wulang juga mengungkapkan bahwa masyarakat asli yang bermukim di kawasan TNK yang berprofesi sebagai nelayan cukup kesulitan sejak ditetapkan kebijakan zonasi.
“Hal ini membuat mereka kesulitan untuk menangkap ikan karena jaraknya makin jauh dan mereka tidak mau ambil resiko,” katanya.
Selanjutnya sejak perusahaan masuk untuk memonopoli kegiatan usaha di TNK, masyarakat yang sebelumnya menjadi nelayan beralih profesi menjadi penggiat usaha lokal. Namun, mereka kembali menemui kesulitan karena ada monopoli bisnis dan ditambah lagi dengan kebijakan kenaikan harga tiket masuk TNK dengan alasan konservasi.
“Kenaikan harga tiket dengan alasan konservasi menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengelola kawasan TNK. DAN mengapa pemerintah tidak mencabut izin-izin perusahaan yang beroperasi di TNK, kalau tujuannya untuk konservasi,” ujarnya.
Umbu Wulang juga menilai pemerintah gagal dalam membangun komunikasi publik baik itu dengan komunitas maupun dengan masyarakat setempat.
“Dalam persoalan TNK pemerintah gagal dalam melakukan komunikasi publik baik itu dengan semua komunitas dan masyarakat setempat sehingga bisa melahirkan kontroversi dan penolakan-penolakan,” katanya.
Ia juga berharap pemerintah mencabut ijin-ijin prosesi perusahaan-perusahaan di TNK. Termasuk tidak memberikan ijin kepada PD Flobamor untuk tidak menggunakan lahan di TNK karena daerah tersebut merupakan kawasan konservasi. Sebab bisa mengurangi porsi pemukiman masyarakat setempat dan merusak kondisi komodo sebagai cagar biosfer.
“Diharapkan pemerintah juga perlu membatalkan kenaikan harga tiket masuk Pulau Komodo. Pemerintah juga perlu menghentikan praktek-praktek intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat dan tidak melarang masyarakat untuk bersuara kepada pemangku kebijakan,” ujarnya.
Atas kondisi diatas, WALHI NTT sebagi organisasi forum lingkungan yang beranggotan 34 lembaga anggota di NTT, menyatakan sikap antara lain sebagai berikut:
1. Meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan proses penangkapan dan tindak kekerasan lain kepada para pelaku pariwisata kecil di Labuan Bajo yang sedang menggunakan haknya sebagai warga negara untuk turut serta mengkritisi kebijakan kebijakan pemerintah.
2. Meminta pemerintah untuk menghormati Hak warga negara dan Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam undang undang maupun konvenan PBB.
3. Meminta pemerintah memperbaiki komunikasi publiknya dan berhenti menggunakan aparat keamanan untuk melakukan praktek praktek kekerasan membungkam kekritisan warga negara.
4. Meminta pemerintah untuk melakukan pemulihan Kesehatan fisik dan psikologis bagi para korban repsesif beserta dengan keluarganya yang terdampak.
5. Meminta pemerintah untuk melakukan konsultasi publik (bila diperlukan referendum kebijakan di tingkat warga) yang transparan dan akuntabel dalam pembuatan kebijakan yang berdampak luas bagi publik.
6. Meminta pemerintah untuk menghormati kekritisan warga sebagai bentuk meningkatnya kesadaran kritis warga negara dalam mewujudkan pembangunan yang mensejahterakan dan berkeadilan bagi semua.
7. Meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga tiket yang telah diputuskan secara sepihak tanpa berkomunikasi atau tanpa mendengarkan aspirasi para pelaku pariwisata dan masyarakat.
8. Meminta KLHK untuk mencabut seluruh ijin konsesi pariwisata IPPA (Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam) dalam skala besar dan berbasis rakus lahan, rakus air dan rakus energi di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo serta kawasan TNK lainnya. Misalnya Ijin PT. SKL dan KWE dan lain lain.
Kontributor Kota Kupang: Emanuel Taena