Waktunya Komunitas Internasional Berdiri Bersama Afghanistan

Baca Juga

MATA INDONESIA, NEW YORK – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil mengumpulkan lebih dari 1,2 miliar USD atau sekitar 17 triliun Rupiah dalam janji darurat untuk membantu 11 juta warga Afghanistan yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan di tanah air mereka.

Dana fantastis tersebut juga akan digunakan untuk jutaan warga lainnya di tempat lain di Afghanistan – di tengah keprihatinan badan Hak Asasi Manusia PBB atas langkah pertama Taliban dalam membangun kekuasaan di negara miskin dan tak berdaya itu.

Pada KTT pertama di Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada pertengahan Agustus, pemerintah Barat, para pendonor, dan lainnya mengumumkan janji yang melampaui 606 juta USD yang diupayakan PBB untuk menutupi biaya hingga akhir tahun demi melindungi warga Afghanistan dari bencana kemanusiaan dan kelaparan yang mengancam.

Kepala kemanusiaan PBB Martin Griffiths mengumumkan pada penutupan pertemuan tingkat menteri bahwa lebih dari 1,2 miliar USD bantuan kemanusiaan dan pembangunan telah dijanjikan.

Dia mengatakan nominal tersebut termasuk 606 juta USD yang diminta dalam permohonan kilat, tetapi juga respons regional terhadap krisis Afghanistan yang dibicarakan oleh kepala pengungsi PBB Filippo Grandi setelah tiba di Kabul.

“Dana itu akan menyelamatkan warga Afghanistan yang kekurangan makanan, perawatan kesehatan dan perlindungan. Afghanistan menghadapi jalan yang panjang dan sulit di depan dan ini masih jauh dari akhir perjalanan,” kata Martin Griffiths, melansir Associted Press.

Afghanistan –sebuah negara yang terletak di antara Asia Selatan dan Asia Tengah itu, dapat lebih jauh jatuh ke dalam kelaparan dan keruntuhan ekonomi setelah kekacauan bulan lalu, yang membuat Taliban menggulingkan pemerintah dalam serangan kilat ketika pasukan AS dan NATO keluar dari perang 20 tahun.

“Rakyat Afghanistan membutuhkan penyelamat. Setelah beberapa dekade perang, penderitaan dan ketidakamanan, mereka mungkin menghadapi saat-saat paling berbahaya,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada pembukaan konferensi.

“Sekaranglah waktunya bagi komunitas internasional untuk berdiri bersama mereka. Dan mari kita perjelas, konferensi ini bukan hanya tentang apa yang akan kita berikan kepada rakyat Afghanistan. Ini tentang apa yang kita berutang,” sambungnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini