MATA INDONESIA, NEW YORK – Hanya dalam maktu hitungan jam, harga minyak dunia tembus ke angda USD 105 per barel dalam sesi puncak pada akhir perdagangan Kamis 24 Februari 2022.
Harga minyak menembus level tertinggi pertama kalinya sejak 2014 silam. Saat ini, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April bersandar di posisi USD 99,08 per barel atau naik 2,3 persen.
Rusia melancarkan serangan militer ke Ukraina melalui jalur darat, laut, dan udara. Ini merupakan serangan terbesar satu negara terhadap negara lain di Eropa sejak Perang Dunia II.
Serangan ini langsung mendapat tanggapan dari Amerika Serikat. Presiden AS Joe Biden menerbitkan sanksi yang keras terhadap Rusia. Yaitu menghambat bisnis dalam mata uang utama dunia, termasuk sanksi terhadap bank dan perusahaan-perusahaan Rusia.
Inggris juga tak mau ketinggalan. PM Inggris Boris Johnson menegaskan bahwa negara Barat harus mengakhiri ketergantungannya pada minyak dan gas Rusia. Pemerintah Inggris akan membidik bank-bank Rusia di London, termasuk membatasi orang-orang kaya Rusia yang lalu lalang di Inggris, termasuk keluarga Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sementara itu sejumlah analis ekonomi mengkhawatirkan dampak kenaikan minyak termasuk invasi Rusia ke Ukraina. UBS Giovanni Staunovo mengingatkan Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga dan merupakan eksportir terbesar kedua di dunia. “Pasar minyak global tidak akan mampu menanggung gangguan pasokan yang besar,” jelasnya.
Bahkan, Rusia juga penyedia gas alam terbesar ke Eropa, dengan pasokan 35 persen dari total pasokan gas alam dunia.
Di AS, persediaan minyak mentah komersial naik 4,5 juta barel pekan lalu menjadi 416 juta barel. Angkanya jauh lebih tinggi dari ekspektasi analis, yakni 400 ribu barel. Namun, minyak mentah cadangan (SPR) AS turun 2,4 juta barel menjadi 582,4 juta barel. Terendah sejak 2002 silam.
Secara keseluruhan, pasokan minyak tetap ketat karena permintaan mulai pulih dari posisi terendah saat pandemi covid-19.
Analis memperkirakan minyak mentah berjangka Brent akan tetap berada di level US$105 per barel sampai pasokan alternatif yang cukup besar tersedia. Analis juga memperingatkan tekanan inflasi pada ekonomi global karena kenaikan harga minyak, terutama untuk Asia yang mengimpor sebagian besar kebutuhan energinya.