Viral Jihad Akbar Lawan Densus 88, Ustaz Suparman : Itu Bentuk Makar Terhadap Pemerintah!

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Densus 88 menangkap salah satu anggota MUI atas dugaan keterlibatannya dalam organisasi teroris, Jamaah Islamiyah (JI). Akibat peristiwa itu, mulai bermunculan suara-suara untuk melawan Densus 88. Bahkan viral di jagad maya terkait jihad akbar untuk mengganggu kinerja lembaga anti terror milik Polri tersebut.

Hal ini pun mendapat tanggapan dari Pendakwah Ustaz Suparman Abdul Karim. Ia mengatakan, beredar di media sosial bahwa tindakan Densus 88 adalah bentuk kezoliman. Padahal Densus 88 menangkap orang berdasarkan bukti yang sangat jelas, terutama yang berkaitan dengan penyandang untuk kegiatan terorisme seperti yang dilakukan oleh JI.

“Densus 88 tentu tak sembarangan menangkap orang. Detasemen khsusus Anti Teror itu menangkap orang pakai prosedur yang sangat cermat. Dan sudah ada pendahuluan yang dilakukan secara cermat dan itu bisa dibuktikan di pengadilan,” ujarnya seperti dalam kanal YouTube pribadinya, Jumat 26 November 2021.

Ia menjelaskan bahwa Densus 88 biasanya menangkap pelaku terorisme lewat proses yang tidak singkat. “Biasanya pelaku sudah dikuntit jauh-jauh hari,” katanya.

Suparman lantas memberikan contoh terkait proses penangkapan salah satu mantan anggota JI, Para Wijayanto yang saat itu berusia 47 tahun pada tiga tahun silam.

“Dia itu dikuntit oleh petugas sejak dia umur 23 tahun. Dia diintai, diikuti, diawasi, tapi baru ditangkap pada umur 47 tahun. Jadi butuh waktu 24 tahun (untuk memastikan kalau dia terlibat terorisme),” ujarnya.

“Mengapa dia tak ditangkap sejak awal? Karena Densus 88 masih mengumpulkan bukti yang sangat kuat dan akurat,” lanjutnya.

Hal ini berlaku juga bagi para terduga teroris yang ditangkap belakangan ini. Sepak terjang mereka tentu sudah diawasi sejak lama.

“Mereka sudah lama diawasi dengan harapan siapa tau dia bisa berubah, siapa tau dia bisa betobat karena gelarnya ustadz. Tapi lama-lama kok makin jadi, malah jadi mentor terhadap ustaz-ustaz baru di JI. Semakin mengkristal, anti NKRI, ini gak bisa dibiarkan lagi karena sudah mulai galang dana lewat Yayasan,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa penangkapan yang dilakukan Densus 88 bukan bentuk dari tindakan menzolimi ulama.

“Ulama mana yang dizolimi. Ulama-ulama hebat di negeri ini aman semua, pesantren maju semua. Ulama yang mana?” ujarnya.

Suparman menegaskan bahwa para pelaku yang ditangkap itu memang sudah lama diikuti dan pantau sepak terjangnya sejak lama oleh Densus 88. Bahkan mereka sempat diajak untuk berdiskusi dan diberikan pencerahan untuk kembali ke pangkauan NKRI, namun mereka menolak.

Ia juga menanggapi terkait jihad akbar untuk melawan Densus88. Bahkan ada seruan untuk membakar polres-polres di seluruh Indonesia.

“Itu bahaya itu. Siapa yang menang lawan polisi, gak ada yang menanglah. Dan secara agama itu salah, itu namanya bughot atau memberontak kepada pemerintah yang sah. Maka,sebenarnya tugas kita umat Islam adalah ikut melawan teorisme, bukan malah melawan pemerintah,” katanya.

Ia menambahkan bahwa orang-orang yang memberontak kepada pemerintahan yang sah, matinya disebut mati jahiliyah.

“Barang siapa yang memberontak kepada pemerintah yang sah dia akan bangkit di hari kiamat tanpa alasan,” ujarnya.

Suparman lantas membandingkan dengan dosa lainnya seperti maling dan zina. Dosa tersebut masih memiliki alasan saat ditanya di akhirat. Akan tetapi untuk dosa memberontak kepada negara tidak akan didengar alasannya di akhirat.

Di akhir, menurutnya memberontak kepada pemerintahan sebaiknya tidak dilakukan.

“Dan barang siapa yang mati, tidak ada di lehernya ketaatan. Maka matinya mati jahiliyah. Jadi hati-hati terhadap seruan itu, memberontak kepada negara itu nggak boleh,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pusaran Konflik di Pantai Sanglen Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Berangkat dari penutupan akses masuk Pantai Sanglen, Kemadang, Gunungkidul, yang dilakukan oleh Kraton Yogyakarta dan Obelix. Warga setempat, yang selama ini memanfaatkan lahan Pantai Sanglen untuk bertani dan mencari nafkah, merasa terpinggirkan. Mereka khawatir pengembangan pariwisata berskala besar akan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini