MATA INDONESIA, JAKARTA-Sebuah video viral di media sosial, dimana sekelompok orang mengumandangkan azan yang tidak biasa. Berbeda dengan panggilan saat salat yang umum dikumandangkan, azan tersebut dilantunkan dengan menggunakan lafal jihad.
Kalimat hayya ‘alas-shalah, diubah menjadi hayya ‘alal-jihad. Dalam sebuah video pendek di laman YouTube yang berjudul ‘Merinding Azan di Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin Pimpinan Al Habib Bahar Bin Smith’, Senin, 30 November 2020.
Terlihat jelas dalam video itu, satu orang yang mengumandangkan azan atau yang biasa disebut muazin melantunkan azan dan di belakangnya ada Jemaah laki-laki yang sendang berdiri bersama-sama.
Mereka mengenakan baju koko warna putih, sarung, kopiah, serban hingga ada yang memakai gamis jubah. Dan mereka terlihat dalam satu ruangan.
Satu orang yang berada di depan jemaah salat itu melantunkan azan sambil memegang mikrofon. Setiap kalimat atau lafaz yang dibacakan muazin itu diulang sebanyak dua kali.
Ketika muazin mengumandangkan kalimat hayya alal jihad maka para jemaah yang di belakangnya mengangkat tangan kanannya ke atas sambil mengucapkan juga kalimat hayya alal jihad.
Namun, kalimat hayya alashshalaah yang biasanya disebutkan itu tidak dilantunkan dan dilanjutkan ke kalimat hayya alalfalaah.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi angkat bicara terkiat video tersebut. Dirinya mengaku belum memahami konteks dari pembuatan video tersebut. Apakah sebatas membuat konten media sosial atau ada pesan khusus yang ingin disampaikan.
Jika azan itu dimaksudkan untuk menyampaikan pesan perang, kata dia, maka seruan jihad dalam pengertian perang sangat tidak relevan disampaikan dalam situasi damai seperti di Indonesia saat ini.
“Jika seruan itu dimaksudkan memberi pesan berperang, jelas tidak relevan. Jihad dalam negara damai seperti Indonesia ini tidak bisa diartikan sebagai perang,” kata Zainut di Jakarta, Senin, 30 November 2020.
Untuk itu, ia mengajak pimpinan ormas Islam dan para ulama untuk bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak terjebak pada penafsiran tekstual tanpa memahami konteks dari ayat Alquran atau hadis. Pemahaman agama yang hanya mendasarkan pada tekstual dapat melahirkan pemahaman agama yang sempit dan ekstrem.
Wamenag menilai, apapun motifnya, video tersebut bisa berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat.
“Di sinilah pentingnya pimpinan ormas Islam, ulama, dan kiai memberikan pencerahan agar masyarakat memiliki pemahaman keagamaan yang komprehensif,” katanya.