MATA INDONESIA, JAKARTA – Terorisme masih dianggap sebagian kalangan merupakan skenario konspirasi. Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menegaskan bahwa fenomena ini disebabkan karena pengetahuan yang sempit sehingga menelan informasi tanpa adanya klarifikasi.
“Karena minimnya informasi dan pengetahuan sehingga menelan secara mentah informasi yang dia sukai. Selain itu sikap tersebut muncul karena tidak mau ideologinya dijadikan penyebab aksi teror,” kata Stanislaus Riyanta kepada Mata Indonesia News, Senin 15 Maret 2021.
Mantan narapidana terorisme Sofyan Tsauri juga menilai bahwa anggapan tersebut dapat menyesatkan opini publik yang berkembang di masyarakat.
“Saya jelaskan bahwa pemahaman-pemahaman tafsir ini ada, jangan bicara konspirasi. Siapakah yang diuntungkan dari peristiwa ini. Ini menyesatkan, berarti orang-orang seperti kita, tuduhan konspirasi seperti itu, mengatakan kalau orang-orang seperti kita tidak pernah ada,” kata Sofyan.
Sofyan juga mengatakan bahwa dengan adanya anggapan konspirasi, bisa berpotensi mempersulit penanganan kasus terorisme. Terlebih bila ada persepsi rekayasa terhadap tindakan teror masih terus eksis di tengah masyarakat.
“Sampai kapanpun penyelesaian terhadap terorisme itu tidak pernah jelas. Kenapa, karena menganggap bahwa peristiwa teroris ini adalah rekayasa oleh sebuah kekuatan besar. Jangan bicara konspirasi dulu, faktanya orang seperti kita ada. Kalaupun orang-orang peminat ini disetir oleh orang lain beda persoalan, beda bab. Tetapi faktanya bahwa orang-orang seperti itu ada,” kata Sofyan.
Ia juga menilai bahwa anggapan terorisme sebagai hasil konspirasi menyakiti pihak korban kasus terorisme. Pasalnya hal tersebut dinilai sebagai konspirasi maka kematian korban kerap dianggap hasil rekayasa.
“Korban-korban terorisme itu bukan rekayasa, matinya juga mati beneran. Bukan mati bohong-bohongan. Maka tuduhan kalau ini adalah rekayasa ini adalah tujuan yang zalim, tuduhan yang jahat menurut saya,” kata Sofyan.