MATA INDONESIA, JAKARTA – Dante Saksono, merupakan nama lain yang dilantik Presiden Jokowi menjadi wakil menteri. Ia ditunjuk untuk menempati posisi sebagai Wakil Menteri Kesehatan. Penunjukkan itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 76/M 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Menteri.
Pria kelahiran Temanggung, 23 Maret 1973 ini ternyata tak pernah memiliki keinginan menjadi dokter. Akan tetapi, karena menurut pada ibunya, ia pun harus menempuh kuliah kedokteran.
Sejatinya, dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, PhD ingin kuliah di ITB dan memilih jurusan informatika yang menjadi favoritnya. Namun, ia kini justru menjadi salah satu spesial endokrologi dan ahli molekur diabetes pertama di Indonesia.
“Lulus SMA saya nggak mau jadi dokter, tapi ibu minta saya jadi dokter. Akhirnya pas UMPTN saya keterima juga di FKUI. Ya, mungkin sudah jalan hidupnya,” jelas dr. Dante Saksono Harbuwono kala itu.
Saat awal kuliah di FKUI pada 1991, Dante mengatakan belum tertarik dengan dunia kedokteran. Tapi, dengan berjalannya waktu ia justru mencintai dunia yang digeluti hingga sekarang. Setelah lulus kuliah pun, ia bercerita mendapatkan proyek dari Yayasan Habibie untuk tugas daerah dan mengikuti seleksi unggulan untuk mengambil spesialisasi penyakit dalam.
“Saat itu saya peserta paling muda karena kalau dokter lain harus kerja lapangan dulu, tapi saya karena seleksi unggulan langsung masuk setelah lulus,” tutur Dante.
Dante mengatakan pernah menjadi Kepala Puskesmas di daerah terpencil di Batang Asai, Jambi. Namun, meski harus bertugas di daerah terpencil dan jauh dari fasilitas umum, Dante sangat menikmatinya. Di sana, ia banyak mendapat pelajaran berharga tentang hidup dan mengaplikasikan ilmu kedokteran yang belum tentu bisa dilakukan di Jakarta.
Tahun 2004, ia bergabung dengan PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam) di Divisi Metabolik Endoktrin yang menangani masalah seperti diabetes dan tiroid. Lalu, tahun 2005, ia dikirim ke Jepang untuk mengambil gelar PhD di University of Yamanshi.
Ia terbilang sangat nekat berangkat dan mengambil molekuler diabetes karena saat itu belum ada ahli tersebut di Indonesia. Istri dan anaknya juga diajak ke sana karena hidup dengan keluarga lebih murah agar bisa tinggal di apartemen universitas.
Untuk menutupi biaya kuliahnya dan hidup selama di Jepang, Dante mengatakan hanya mendapatkan bantuan dari organisasi PAPVI (Perhimpunan Aterosklerosis & Penyakit Vaskular Indonesia). Ia juga harus bekerja sebagai tukang masak di McDonald setiap Sabtu dan Minggu.
Untungnya, profesornya di Jepang mengetahui bahwa ia mendapatkan beasiswa, Dante pun diangkat menjadi asisten dan diikutsertakan dalam riset sehingga mendapatkan gaji dari universitas.
“Alhamdulillah tahun 2008 saya selesai. Harusnya 4 tahun, tapi saya kebut 3 tahun. Akhirnya saya jadi ahli molekuler diabetes pertama di Indonesia,” katanya.
Reporter: Afif Ardiansyah