Simak Beberapa Tantangan Industri Fintech di Tanah Air Berikut Ini

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Usia industri Finansial Technology alias di tanah air baru seumur jagung. Namun sudah mendapat stigma yang kurang bagus dari masyarakat.

Pada umumnya masyarakat berasumsi bahwa Fintech merupakan rentenir online. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, Fintech tak melulu soal utang online. Ini menjadi salah satu tantangan bagi industri Fintech di Indonesia.

Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali pun mengamini hal ini. Ia ikut mengungkapkan bahwah saat ini yang menjadi tantangan bagi pertumbuhan industri Fintech di Indonesia adalah masih minimnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan hal ini.

Selain itu ia juga berkata tantangan lainnya adalah karena regulasinya baru dibentuk sehingga masih ada kebingungan. “Lalu, pihak perbankan juga masih merasa terancam soal keberadaan Fintech di Indonesia. Kemudian, orang juga masih berharap jika simpan uang di Fintech akan dapat bunga yang besar dan berharap bila meminjam bunganya rendah,” kata Rhenald.

“Tapi sekarang yang terjadi orang buat konsumsi karena itu berapa pun bunga mereka akan ambil. Memang bunga pinjamannya saat ini masih mahal, tapi ke depannya pasti akan murah seiring berkembangnya teknologi dan informasi. Maka ia mengharapkan perlu banyak edukasi dan literasi kepada publik soal hal ini,” ujar Rhenald menambahkan, seusai acara AFPI C – Summit 2019 Fintech P2P Lending di Rumah Perubahan, Pondok Melati, Bekasi, Jumat 14 Juni 2019.

Sebagai penasihat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Rhenald pun tetap optimis dengan perkembangan Fintech di Indonesia pada masa mendatang.

Selain berharap pemahaman masyarakat soal Fintech kian matang, ia juga menaruh harapan yang besar kepada generasi milenial. “Karena sekarang adalah zaman milenial, zaman yang berbasis teknologi digital, maka para generasi muda akan lebih banyak berperan,” kata dia.

Rhenald melanjutkan bahwa yang dibutuhkan oleh anak-anak muda masa ini adalah koneksi dan jangkauan relasi yang luas. “Mereka perlu jaringan jika ingin buat usaha. Dan untuk masuk ke industri Fintech tak bisa bergerak sendiri. Perlu ada kolaborasi dan kerja sama yang kuat,” ujar dia.

Sekadar info, sebenarnya ada empat kategori Fintech di Indonesia menurut Bank Indonesia, yaitu yang pertama adalah Peer-to-peer lending and crowdfunding. Platform ini mirip marketplace yang mempertemukan antara pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower).

Crowdfunding sendiri adalah penggalangan dana yang menggunakan teknologi buat membiayai suatu karya atau menyumbang korban bencana. Layanan ini adalah pembiayaan massal. Contoh paling populer layanan crowdfunding adalah KitaBisa.com.

Sementara itu, peer-to-peer lending atau P2P Lending merupakan layanan pinjaman dana pada masyarakat. Bisa dana dari masyarakat itu sendiri maupun dari perusahaan yang membangun platform tersebut. Contoh layanan P2P lending di Indonesia, misalnya KoinWorks, UangTeman dan Kredivo.

Kedua adalah market aggregator. Jadi lewat website atau platform aplikasinya, beragam informasi layanan keuangan dapat dilihat dan dari situ pengguna bisa membandingkan beragam layanan keuangan yang bakal dipilih. Contoh, produk kartu kredit, kredit tanpa agunan, asuransi, sampai dengan KPR dan kredit kendaraan bermotor.

Bahkan, penyedia platform tersebut juga bisa membantu untuk mengajukan berbagai produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu contoh market aggregator di Indonesia adalah DuitPintar.com.

Ketiga adalah Manajemen Risiko dan Investasi. Platform ini merupakan perencanaan keuangan berbentuk digital. Pengguna bakal dibantu memdapat model investasi yang cocok baginya. Berapa contoh fintech yang masuk dalam kategori ini adalah Bareksa, Investree, hingga Online-Pajak yang membantu buat mengatur pajak.

Keempat adalah Payment, Clearing, and Settlement. Yang masuk dalam kategori platform ini adalah e-wallet ataupun payment gateway. Pada tiap transaksi yang terjadi tentu adaperpu taran uang. Maka, Bank Indonesia perlu bertanggung jawab untuk melindungi konsumen yang terlibat dalam transaksi tersebut. Contohnya adalah GO-PAY, OVO, atau Sakuku BCA. (Krisantus de Rosari Binsasi)

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini