MATA INDONESIA, JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan vonis 10 bulan penjara terhadap terdakwa Jumhur Hidayat, Kamis 11 November 2021.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan Jumhur Hidayat secara terbukti menyebarkan berita yang tidak lengkap sehingga menimbulkan keonaran.
”Menyatakan terdakwa M Jumhur Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak lengkap,” kata Hakim Ketua, Hapsoro Widodo seraya menjatuhkan putusan di ruang sidang.
Hakim menjatuhkan putusan kepada Pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu hukuman pidana 10 bulan penjara dikurangi masa tahanan sementara.
Majelis hakim juga menetapkan Jumhur Hidayat tidak perlu ditahan karena yang bersangkutan masih dalam perawatan dokter. Adapun dalam pembacaan putusan itu, majelis hakim turut membacakan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan Jumhur.
Untuk pertimbangan yang memberatkan, hakim mengatakan perbuatan Jumhur Hidayat melalui cuitan twitter-nya telah membuat resah masyarakat.
Sedangkan untuk hal yang meringankan, setidaknya ada lima poin yang disampaikan oleh hakim diantaranya selama persidangan, Jumhur bersikap kooperatif.
“Keadaan meringankan, terdakwa kooperatif, mengakui perbuatan, tidak berbelit-belit, terdakwa masih dalam perawatan dokter pascaoperasi, dan terdakwa masih ada tanggungan keluarga,” kata Hakim Hapsoro.
Vonis terhadap Jumhur itu sendiri, selaras dengan dakwaan alternatif pertama lebih subsider yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU), yakni berkaitan pada Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Akan tetapi, untuk dakwaan primer dan dakwaan subsider jaksa yang mengacu pada Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 Tahun 1946 majelis Hakim menyatakan, hal tersebut tidak terbukti, sehingga Jumhur bebas dari dua dakwaan itu.
Vonis dari majelis hakim ini sendiri lebih rendah dibanding tuntutan yang jaksa dengan hukuman pidana 3 tahun penjara.
Jaksa mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang – Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.