Produk Kelapa Sawit Indonesia Masih menjadi Primadona di Eropa

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejak lama negara-negara Uni Eropa, khususnya Belanda, menjadi tujuan pasar utama minyak sawit Indonesia serta menjadi negara penghubung Indonesia dengan negara-negara Eropa lainnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus impor minyak, terutama dari Indonesia, terhambat untuk masuk ke negara-negara Eropa.

Beberapa isu, antara lain kesehatan, lingkungan, dan perlindungan hewan, dinilai menghambat masuknya kelapa sawit Indonesia ke Eropa. Hal ini ditegaskan oleh Report on Palm Oil and Deforestation on Rainforests, yang menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan masalah yang sangat besar terkait isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak-hak masyarakat adat, deforestasi, serta perusakan habitat.

Salah satu resolusi dan rekomendasi yang diberikan adalah menghentikan impor Crude Palm Oil (CPO) (termasuk dari Indonesia) tahun 2021. Apalagi kerangka Renewable Energy Directive (RED) mengatur penggunaan energi terbarukan di Uni Eropa, di mana CPO dihapuskan sebagai sumber bahan bakar nabati karena tingkat emisinya yang tinggi, meskipun belum final.

Di sisi lain, data ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan bahwa kebutuhan dan permintaan minyak sawit Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data UN Comtrade tahun 2018, periode 2016–2017 permintaan minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa meningkat sebesar 15 persen.

Kemudian periode 1996–2016 konsumsi minyak sawit di Uni Eropa meningkat sebesar 31 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa negara-negara Uni Eropa tentu membutuhkan minyak sawit untuk industrinya.

Selain itu, pada Mei 2019 Komisi Eropa telah mengadopsi Delegated Act untuk membatasi penggunaan biofuel dari minyak sawit yang memiliki risiko perubahan tata guna lahan (ILUC) tidak langsung.

Indonesia telah mencoba melakukan berbagai pendekatan diplomatik untuk menjelaskan masalah ini, namun isu-isu mengenai kelapa sawit terus muncul dan berkembang. Oleh karena itu, wacana untuk menghentikan ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Eropa pada akhirnya tetap berlaku.

Dengan menangguhkan ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Eropa, Indonesia akan terhindar dari kritik banyak pihak di Eropa dan dapat fokus mengembangkan sistem kelapa sawit berkelanjutan berdasarkan undang-undang nasional dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Pada Desember 2019, Indonesia mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk pertama kalinya dengan alasan bahwa pembatasan biofuel berbasis minyak sawit tidak adil dan meminta konsultasi dengan blok perdagangan tersebut.

Proses konsultasi kemudian dilakukan Indonesia dan Uni Eropa pada 19 Februari 2020 di kantor pusat WTO, Jenewa, Swiss. Ketika itu Indonesia mengajukan 108 pertanyaan tekait dengan penerapan kebijakan RED. Kedua negara kemudian berunding untuk menemukan jalan tengah selama 60 hari sejak konsultasi dilakukan.

Berdasarkan perundingan tersebut, Vincent Piket, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia mengatakan bahwa pihaknya masih membuka pintu untuk impor minyak kelapa sawit dari Indonesia, meskipun sengketa dagang di WTO tengah berlangsung.

Piket mengatakan, di luar proses sangketa WTO, Uni Eropa telah membentuk kelompok kerja dengan negara-negara produsen termasuk Indonesia untuk merundingkan isu-isu seputar keberlanjutan industri kelapa sawit yang menjadi ganjalan perdagangan produk ini selama beberapa waktu terakhir.

“Ada kelompok kerja yang mendiskusikan hal ini. Sebelum akhir bulan ini, dari pihak UE mengharapkan supaya semua kebingungan yang ada bisa terselesaikan sehubungan dengan kelapa sawit,” kata Piket.

Di tengah diskriminasi yang dilakukan oleh Uni Eropa, beberapa negara Eropa lainnya yakni Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss masih mau menerima produk kelapa sawit Indonesia.

Meskipun dikenal kritis mengenai isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, negara-negara tersebut justru menerima produk kelapa sawit melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Keempat negara ini masuk dalam European Free Trade Association (EFTA).

Indonesia bersama Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss telah mengimplementasikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) pada 1 November 2021 lalu.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementrian Pergadangan, menunjukan bahwa perdagangan Indonesia dengan EFTA masih didominasi oleh Swiss. Sekitar 96 ekspor Indonesia ke EFTA yang setara dengan 1,07 miliar USD selama Januari sampai Agustus 2021 masuk ke Swiss. Sementara 71 impor Indonesia dari EFTA juga berasal dari Swiss yang nilainya mencapai 358,9 juta USD.

Reporter: Sheila Permatasari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Prabowo Tingkatkan Pendampingan dan Pelatihan Demi Pemberdayaan UMKM

Oleh: Nadia Putri Ningsih )* Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmennya dalam mendukung pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai...
- Advertisement -

Baca berita yang ini