MATA INDONESIA, JAKARTA – Kudeta yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar cukup mengkhawatirkan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Presiden AS, Joe Biden dan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison bahkan melakukan kontak demi membahas masalah ini.
Kedua pemimpin negara tersebut membahas mengenai bagaimana mereka dapat bekerja sama untuk menangani kudeta militer yang belum lama ini terjadi serta masalah Cina, demikian dilaporkan Gedung Putih.
“Kekuatan aliansi AS-Australia tetap menjadi jangkar stabilitas di Indo-Pasifik dan dunia,” kata Gedung Putih dalam sebuah email, melansir Reuters, Kamis, 4 Februari 2021.
Sementara PM Australia, Scott Morrison enggan memberikan detail mengenai percakapannya dengan Presiden Biden seputar kudeta di Myanmar dan Cina. Ia hanya mengatakan bahwa panggilan dengan Presiden Biden berlangsung hangat dan menarik.
“Biden berkata kepada saya, dia melihat hubungan Australia-AS sebagai jangkar bagi perdamaian dan keamanan di wilayah kami,” ucap Morrison kepada wartawan di Canberra.
Aung San Suu Kyi dan mantan Presiden Win Myint ditangkap dalam sebuah penggerebekan pada Senin (1/2) dini hari waktu setempat atau beberapa jam sebelum militer menyatakan bahwa kekuasaan telah diserahkan kepada Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing atas tuduhan penipuan pemilu yang tidak berdasar. Keadaan darurat pun diumumkan selama satu tahun.
Sejumlah anggota parlemen senior dan pejabat di partai NLD yang berkuasa juga ditahan, dengan sekitar 400 orang ditahan di sebuah wisma tamu di ibu kota, Naypyidaw, Myanmar.
Junta militer yang baru berkuasa mencopot 24 menteri dan deputi dari pemerintah dan menunjuk 11 dari sekutunya sebagai pengganti yang akan mengambil peran mereka dalam pemerintahan baru.
Perebutan kekuasaan secara tiba-tiba terjadi ketika parlemen baru akan menjalankan tugas dan setelah berbulan-bulan meningkatnya gesekan antara pemerintah sipil dan militer yang kuat, yang dikenal sebagai Tatmadaw, atas dugaan penyimpangan pemilihan. Namun, Komisi pemilu Myanmar telah berulang kali membantah terjadinya kecurangan pemilih massal.