Potensi Bisnis Kesehatan di Indonesia Mencapai Rp 1.100 T dalam Lima Tahun

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Potensi bisnis kesehatan, terutama dari penjualan obat-obatan, sangat besar.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mendorong industri farmasi Tanah Air untuk mengembangkan obat-obatan dengan basis plasma dan bioteknologi.

Ia mengatakan bahwa pengeluaran per kapita (expenditure per capita) per tahun Indonesia untuk bidang kesehatan sebesar USD 112 atau setara Rp 1.568.000. Angka ini relatif rendah dari Malaysia yang rakyatnya mau merogoh kocek sebesar USD 432 atau setara Rp 6.048.000 untuk kesehatan per tahunnya.

”Saya nggak tahu datanya di-spend (belanjakan) ke obat berapa banyak. Feeling saya 40%-50% untuk obat. Dari spending kesehatan per kapita,” katanya dalam acara Kick Off Fasilitasi Change Source Penggunaan Bahan Baku Obat Dalam Negeri, Kamis 2 Juni 2022.

Dalam lima tahun ke depan, ia optimis angka ini akan naik. Minimal sampai ke angka pengeluaran per kapita Malaysia tahun ini. Dengan peningkatan tersebut dan perkalian  jumlah penduduk Indonesia sebesar 270 juta jiwa, ada sekitar USD 81 miliar. Atau lebih dari Rp 1.170 triliun potensi pendapatan di industri kesehatan.

”Kalau (porsi untuk) obatnya 40% saja. USD 32 miliar, berapa tuh, Rp 400-500 triliun. Saya tidak pernah lihat ada industri farmasi kita ratusan triliun itu belum lihat. Jadi harusnya itu big opportunity for you,” ujarnya.

Adapun hal ini ia sampaikan berkenaan dengan penetapan change source bahan baku obat (BBO) dari impor ke lokal. Dalam kesempatan yang sama, ia juga meresmikan pabrik obat merah atau povidone iodine milik PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia di Cikarang.

Ajakan ini muncul karena Indonesia sempat mengimpor obat bernama Gammaraas dari Tiongkok dalam jumlah banyak saat pandemi Covid-19.  Ia menjelaskan bahwa obat ini termasuk dalam kategori IVig (Intravenous Immunoglobulin Therapy) dan IVig berbasis dari plasma darah manusia.

”Orang Indonesia itu 270 juta (jiwa). Harusnya kita jadi produsen plasma darah terbesar ke-4 di dunia. Masa produk IVig itu impor,” kata Budi.

Sama halnya dengan obat berbasis biosimilar atau bioteknologi. Budi menyebut bahwa baik produk obat berbasis plasma dan bioteknologi ini dapat produksi dengan mudah di Indonesia. Dan distribusi ke layanan kesehatan.

Hal ini tentu akan menguntungkan baik pihak negara maupun masyarakat. Namun ia pesimis bahwa produk obat jadi berbasis bioteknologi dan plasma ini bisa tersebarluas ke dalam negeri.

Untuk itu, ia berkomitmen akan melindungi industri farmasi. Terutama produsen BBO berbasis plasma dan bioteknologi agar bisa leluasa mengembangkan produk. Kemenkes menuangkan komitmen ini dalam transformasi kesehatan nasional. Salah satu pilarnya adalah perkembangan bioteknologi.

Salah satu upaya Kemenkes adalah mengakses Bea Cukai untuk memastikan bahan jadi impor tersebut.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Rumah Sekda Karawang Digeledah, Begini Tanggapan Ketua BEM Fakultas Hukum UBP Karawang

MATA INDONESIA, KARAWANG-Pasca penggeledahan ruang dinas dan rumah Sekretaris Daerah Kabupaten Karawang yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat...
- Advertisement -

Baca berita yang ini