Polri Temukan 107 Kasus Penyelewengan Dana Bansos Corona

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejak April hingga Agustus 2020, Polri telah menemukan 107 kasus dugaan penyelewengan dana bansos Covid-19 di seluruh Indonesia.

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan berkata, kasus ini adalah akumulasi dari 21 Polda se-Tanah Air, yang tengah ditangani penyidik.

“Terbanyak di Polda Sumatera Utara sebanyak 39 kasus, dengan rincian 31 kasus proses lidik, enam henti lidik dan dua kasus sudah dilimpahkan ke APIP,” kata Ahmad di Jakarta, Sabtu 5 September 2020.

Kasus terbanyak selanjutnya adalah temuan Polda Jawa Barat sebanyak 19 kasus, dengan rincian 13 kasus proses lidik, satu henti lidik, dan lima kasus sudah dilimpahkan ke Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).

“Ketiga ada Polda Riau sebanyak tujuh kasus dengan rincian empat kasus proses lidik, satu henti lidik, dan dua kasus sudah dilimpahkan ke APIP,” ujar Kombes Ahmad.

Adapun temuan lainnya dengan jumlah teratas diikuti oleh Polda NTB dan Polda Sulsel dengan masing-masing sebanyak tujuh kasus dalam proses lidik. Polda Jawa Timur sebanyak lima kasus, dengan rincian dua kasus proses lidik dan tiga kasus sudah dilimpahkan ke APIP.

Ahmad melanjutkan, Polda NTT sebanyak tiga kasus dalam proses lidik, Polda Banten sebanyak tiga kasus dengan rincian satu kasus proses lidik dan dua kasus sudah dilimpahkan ke APIP. Kemudian Polda Sulawesi Tengah, Polda Sumatera Selatan, Polda Maluku Utara, dan Polda Sulawesi Barat masing-masing dua kasus yang seluruhnya dalam proses lidik.

“Polda Kalteng dan Polda Kepri masing-masing satu kasus sudah henti lidik. Polda Sumbar, Polda Kaltara, Polda Lampung, Polda Papua Barat, Polda Kalbar, Polda Papua dan Polda Bengkulu masing-masing satu kasus, saat ini seluruhnya dalam proses lidik,” kata dia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini