MATA INDONESIA, JAKARTA-Pemerintah saat ini tengah fokus untuk pencapaian net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon di Indonesia.
Salah satunya dengan memanfaatkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) menjadi salah satu prioritas dalam menggantikan energi fosil.
Seperti diketahui, panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjadi beban dasar (base load) dalam sistem ketenagalistrikan dengan capacity factor yang tinggi, yaitu di atas 95 persen.
“Terlebih lagi, PLTP merupakan energi terbarukan yang rendah emisi, tidak terpengaruh cuaca, serta lebih stabil terhadap pengaruh fluktuasi harga bahan bakar fosil,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana di Jakarta, Kamis 4 Agustus 2022.
Dadan mengungkapkan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), bagian dari Subholding Power & New Renewable Energy PT Pertamina (Persero), adalah entitas bisnis yang menjadi salah satu motor pengembangan panas bumi.
Apalagi, PGE memiliki pengalaman yang baik dalam pengembangan panas bumi di tanah air dengan dukungan kompetensi SDM yang mumpuni serta pendanaan yang memadai.
“Kegiatan panas bumi pada prinsipnya merupakan kegiatan yang sangat rendah emisi sehingga dengan 672 megawatt (MW) kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri oleh PGE secara tidak langsung telah berkontribusi pada pencapaian NZE yang dicanangkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Dadan menyebutkan dalam RUPTL 2021-2030 target pengembangan PLTP sebesar 3.355 MW. Pemerintah aktif melakukan monitoring secara berkala terhadap pembangunan PLTP yang masuk dalam daftar RUPTL.
Data Kementerian ESDM menunjukkan total sumber daya panas bumi di Indonesia mencapai 23,7 GW atau nomor dua setelah Amerika Serikat.
Namun, menurut Dadan, sumber daya tersebut harus dipastikan dahulu dengan serangkaian kegiatan eksplorasi panas bumi untuk memastikan cadangan terbuktinya sehingga siap untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam waktu yang panjang lebih dari 30 tahun.
Tahapan eksplorasi panas bumi merupakan tahap yang paling memiliki risiko tinggi karena rasio keberhasilan eksplorasinya kurang lebih 50 persen.