MINEWS, JAKARTA-Perusahaan perkebunan dengan masyarakat sering kali terlibat konflik dalam pengelolaan lahan. Namun, semuanya bisa dikerjasamakan melalui pengelolaan hutan lestari yang sesuai dengan prinisip keberlanjutan.
Nah, lewat pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) diharapkan dapat berkontribusi meningkatkan devisa negara melalui pengelolaan kawasan hutan produksi milik negara. Serta memberikan manfaat kawasan hutan bagi masyarakat melalui skema yang sesuai dengan perundangan yang berlaku.
HTI yang lestari juga dianggap perlu untuk memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan sosial termasuk diantaranya resolusi konflik yang handal.
Melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pembangunan HTI, Upaya Penyelesaian Potensi Konflik dan Tanah Obyek Reforma Agraria†diharapkan bisa memberikan pemahaman pemahaman yang utuh mengenai pembangunan HTI serta penanganan potensi konflik yang ada di area izin HTI.
Direktur Usaha Hutan Produksi (UHP) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Istanto saat hadir dalam FGD mengatakan pendataan, pemetaan konflik serta diskusi penting untuk dilakukan untuk penyelarasan dan pembangunan HTI, perlindungan kawasan serta pemberdayaan masyarakat.
Mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No. P.5/PHPL/UHP/PHPL.1/2016 tentang Pedoman Pemetaan Potensi Konflik pada pemegang izin HTI, PT Lestari Asri Jaya dan PT Wanamukti Wisesa telah melaksanakan pemetaan tersebut dengan menggandeng lembaga studi independen.
Dari hasil studi pemetaan potensi konflik yang dilakukan, diketahui bahwa potensi yang ada cukup tinggi dan sangat kompleks karena masifnya perambahan dalam bentuk perkebunan dan pemukiman tanpa izin di kawasan hutan.
Menyadari pentingnya kerjasama multipihak dalam penyelesaian konflik PT LAJ dan PT WW bersama pihak berkompeten lainnya membentuk Tim Resolusi Konflik.
Tim yang melibatkan banyak pihak dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, lembaga studi dan LSM/ORNOP nantinya akan melakukan pemetaan potensi konflik di area PT LAJ dan PT WW.
Wakil Bupati Tebo Syahlan Arfan mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Tebo sangat mendukung adanya TRK sebagai bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian konflik ini.
“Pemerintah daerah mendukung penyelesaian konflik untuk pembangunan daerah dan iklim usaha yang kondusif,†katanya.
Tim Resolusi Konflik (TRK) PT LAJ & PT WMW yang dikukuhkan pada tanggal 20 Agustus 2018 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Nomor : 263/Kpts/Dishut-5.3/XII/2018. Dalam menjalankan perannya Badan Pelaksana TRK didukung oleh 3 kelompok kerja (POKJA) Sosialisasi dan Inventarisasi, Pokja Mediasi dan Pokja Orang Rimba (Suku Anak Dalam).
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ahmad Bestari mengatakan, upaya yang dilakukan ini merupakan bukti hadirnya pemerintah dalam proses penyelesaian konflik.
“Diperlukan juga kerja sama di tingkat tapak untuk mengetahui kendala riil yang ada di lapangan dengan melibatkan Pemda, KPH, perusahaan, LSM dan masyarakat,†kata Ahmad.
Selain membahas mengenai upaya resolusi konflik FGD ini juga menjadi salah satu media Pemerintah untuk mengkomunikasikan upaya perluasan akses masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebagai opsi penyelesaian konflik.
Adapun salah satu sumber obyek reforma agraria dalam kawasan hutan negara yang telah dilepaskan sesuai peraturan perundang-undangan menjadi TORA, tidak dapat diterapkan di area izin HTI yang masih aktif seperti di PT LAJ dan PT WW.