MATA INDONESIA, JAKARTA – Langkah pemerintah Indonesia dalam melakukan impor LPG (liquefied petroleum gas) mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan. Menurutnya, impor yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini PT. Pertamina (Persero) sudah tepat.
Diketahui, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa volume impor LPG akan naik tahun 2021, baik bersubsidi maupun nonsubsidi sebanyak 7,2 juta metrik ton. Jumlah itu naik dibandingkan tahun 2019, sebesar 6,2 juta metrik ton.
Ia menjelaskan bahwa Pertamina masih melakukan impor lpg, karena produksi dalam negeri masih berkisar 995 ribu metrik ton dari kilang domestik dan 1 juta metrik ton dari Kilang Pertamina.
“Terkait dengan rencana impor 7,2 juta ton, kita melakukan impor karena memang kemampuan dalam negeri untuk memproduksi lpg masih sangat kurang. Oleh karena itu pemerintah mendorong pertamina dalam rangka meningkatkan program produksi lpg,” kata Mamit Setiawan kepada Mata Indonesia News melalui sambungan telepon.
“Sepanjang tahun 2007 tidak pernah ada kenaikan harga untuk lpg 3 kg, disparitas harga yang cukup tinggi dengan lpg non subsidi membuat penggunaan lpg 3 kg tidak terkendali,” kata pakar minyak dan gas tersebut.
Konsumsi yang terus meningkat, menurutnya, mau tidak mau membuat pemerintah harus melakukan impor untuk menjaga pasokan dalam negeri. Mamit mengatakan bahwa salah satu penyebab impor gas adalah karena konversi dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) untuk kapal penangkap ikan untuk nelayan.
Mamit pun berharap pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih tegas, sehingga pemakaian lpg bersubsidi dapat terkendali dan tepat sasaran. Solusi lain, pemerintah dapat memberlakukan sistem distribusi tertutup.
“Diperlukan aturan hukum yang tegas. Sehingga tidak sembarang orang dapat memakai lpg bersubsidi. Hanya diperuntukkan untuk mereka yang tidak mampu. Di mana yang berhak untuk lpg bersubsidi adalah mereka yang terdaftar atau memiliki kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Sejahtera,” sambungnya.
“Jika lpg bersubsidi ini tepat sasaran, maka dampaknya akan besar. Selain menurangi impor, APBN lebih aman, dan konsumsi lpg bersubsidi dapat terkendali. Oleh karena itu pemerintah dan pihak berwenang harus menyinkronkan data siapa saja yang berhak untuk lpg bersubsidi ini,” lanjutnya.
Sebagai catatan, tahun 2018 Pertamina mengimpor lpg sebanyak 5,5 juta metrik ton. Sedangkan tahun 2019, Pertamina mengimpor 5,8 juta metrik ton. Berdasarkan paparan Dirut Pertamina, harga lpg tahun 2018 sebesar 557 dolar AS per ton dan tahun 2019 sebesar 466 dolar AS per ton, sedangkan tahun 2020 seharga 437 dolar AS per ton, dan tahun 2021 seharga 411 dolar AS per ton.