MATA INDONESIA, JAKARTA – Rehabilitasi eks (mantan) teroris di luar penjara juga penting dilakukan selain proses yang terjadi di dalam penjara. Upaya ini bertujuan supaya pemulihan terhadap paparan ideologi radikalisme bisa bertahan dalam jangka panjang. Maka ahli psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menegaskan bahwa rehabilitasi luar penjara tetap harus dilakukan.
“Deradikalisasi di luar penjara tetep harus dilakukan, kita harus tetap intervensi mantan prisoner (tahanan) dan keluarga, sosial dan jejaring,” kata Hamdi Muluk dalam Webinar bertema Pelajaran dari Pengalaman Jepang dengan Aum Shinrikyo: Pemahaman tentang Latar Belakang Agama dan Pendekatan Psikologis untuk Deradikalisasi, Senin 8 Maret 2021.
Hal ini penting untuk dilakukan untuk mencegah mantan teroris kembali ke kelompok lamanya. Mengingat ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka bisa kembali terpapar yaitu karena ada rasa belum puas dan ditokohkan oleh kelompoknya.
Mantan narapidana terorisme (napiter) dan penulis buku ‘Intrnetistan Jihad zaman now’ Arif Budi Setyawan menegaskan bahwa rasa belum puas ini bisa memicu mantan napiter mencari jalan lain bila tidak lagi diterima di kelompok lamanya. Caranya bisa memilih untuk bergabung dengan kelompok perlawanan lain bahkan di luar negeri.
Sementara faktor kedua karena adanya penokohan menjadikan mantan napiter dan keluarganya masih mendapatkan perhatian dari kelompok lamanya.
“Seorang napiter yang ketika di penjara keluarganya mendapatkan santunan dari simpatisan dan pendukungnya, ketika bebas akan sulit menolak ajakan atau melepaskan ikatan dari kelompok lamanya,” kata Arif Budi Setyawan.
Hal inilah yang dikhawatirkan terjadi bila tidak ada perhatian dan intervensi terhadap mantan napiter ketika sudah keluar dari tahanan. Maka penanganan deradikalisasi dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya di dalam penjara melainkan menyasar hingga saat bebas dan kembali kepada masyarakat.