MINEWS.ID, JAKARTA – Salah satu hal yang perlu direvisi dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pengusutan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sebab, itu adalah titik lemah lembaga antirasuah tersebut.
“LHKPN sebenarnya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk membongkar indikasi suap atau korupsi di ranah internal pemerintahan. Tetapi sejak berdirinya hingga kini tidak pernah terdengar KPK membongkar kejahatan dari LHKPN,” ujar pengamat hukum Petrus Selestinus di Jakarta, Senin 9 September 2019.
Menurutnya, data LHKPN di KPK sekarang lebih sering masuk gudang daripada dijadikan dasar mengungkap kasus tindak pidana korupsi.
Padahal, kata Petrus, kalau diperiksa dan ditelusuri satu per satu, akan terungkap banyak kasus korupsi yang dilakukan para penyelenggara negara.
Karena kadang ditemui gaji yang didapat setiap bulan tidak sebanding dengan pengeluaran selama setahun, gaji hanya puluhan juta rupiah sedangkan pengeluaran bisa mencapai miliaran rupiah.
Artinya ada sumber pendapatan lain yang tidak dilaporkan di dalam LHKPN sehingga bisa menjadi awal penyidikan.
Itu yang harus dipertanyakan KPK. Dari mana uang miliaran rupiah yang dibelanjakan tersebut. Namun, Petrus menilai hal itu tidak pernah dilakukan.
Dia menduga hal tersebut karena diduga ada deal soal LHKPN antara sejumlah anggota DPR dengan pimpinan KPK.
Alasannya, hal tersebut merupakan privasi penyelenggara negara sehingga tidak boleh diganggu.
KPK justru fokus menjalankan operasi tangkap tangan (OTT), sementara kejahatan besar di balik kasus-kasus yang terungkap tidak pernah dituntaskan. Akibatnya selama 12 tahun perjalanannya KPK dinilai Petrus telah gagal memberantas korupsi.
Maka bila nanti UU KPK direvisi, Petrus pun menganjurkan perlu ada badan pengawas bagi lembaga anti rasuah ini. Namun, pengawasannya perlu dikawal.
Mereka tidak perlu menyampuri penyidikan, cukup mengawasi saja. Jika terlalu dalam menyampuri justru bisa menjadi senjata untuk melumpuhkan komisi antirasuah tersebut.