MATA INDONESIA, JAKARTA – Perlahan-lahan, beberapa daerah sudah menerapkan new normal atau penormalan baru di tengah pandemi Covid-19. Dalam pandangan pengamat kebijakan publik Prof Budi Suryadi dari Universitas Lambung Mangkurat, kebijakan ini harus dilakukan masih agar penyebaran virus benar-benar bisa ditekan.
Ia menegaskan, new normal yang saat ini tengah berjalan jangan masyarakat artikan sebagai kebebasan, karena itu dapat membuat lengah.
“‘New normal jangan diartikan kebebasan, hingga kita semua lengah dan tak peduli. Pemerintah tak boleh kendor mengingatkan masyarakat jika protokol kesehatan wajib dijalankan oleh setiap orang,” kata Budi di Banjarmasin, Rabu 10 Juni 2020.
Budi menyebut, kebijakan normal baru yang digulirkan pemerintah pusat dan diterapkan masing-masing daerah dengan segala polanya harus disikapi serius pada tataran kondisi di lapangan.
“Jangan sampai pelonggaran aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya gelombang kedua lonjakan kasus Covid-19,” ujarnya.
Terlepas dari perbedaan penerapan dalam menjalankan kebijakan normal baru di setiap daerah, pemda menurutnya harus mengoreksi dua kenyataan di lapangan.
Pertama, melacak kontak pasien yang terkonfirmasi positif secara masif yang dilakukan hanya saat sekarang bukan pada awal pandemi, sehingga agak terlambat memahami kebijakan pemerintah tentang normal baru yang semestinya sudah bisa diprediksi langkah-langkah transisinya.
Kemudian kedua, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tidak seragam di semua kabupaten hingga hasilnya tidak optimal karena kekurangmampuan pemda dalam penanganannya dan kesulitan dalam sosial kultural masyarakat.
“Daerah ini sebenarnya tanpa disadari menjalankan ‘new normal’ dalam kerangka PSBB. Apalagi, PSBB kurang begitu diterima pada masyarakat luas sehingga new normal merupakan upaya yang lebih fleksibel dan harusnya dapat secara masif dilaksanakan,” kata Budi.