MATA INDONESIA, JAKARTA – Kenapa Papua terus bergolak? ternyata ini salah satu alasannya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeberkan adanya ancaman dan informasi yang menakutkan yang diterima dirinya ketika memerintahkan untuk mengambil 51 persen saham (divestasi) PT Freeport Indonesia beberapa tahun lalu.
Dalam pidatonya di Acara Puncak HUT ke-7 Partai Solidaritas Indonesia, Rabu 22 Desember 2021, Jokowi tak segan membeberkan sejumlah ancaman yang diterimanya saat memerintahkan mengambil saham Freeport tersebut.
Dia bercerita, mayoritas informasi yang diterimanya menakutkan, seperti akan mengguncang Papua, Papua akan lepas, dan Amerika Serikat murka.
Jokowi mengatakan banyak informasi menakutkan yang diterima pemerintah saat itu. Bahkan, ada menteri yang sempat ragu dengan rencana itu.
”Waktu kita mau ambil Freeport kembali, mayoritas informasi yang saya terima memang semuanya menakutkan, menakutkan semuanya. Nanti Papua akan goncang, Papua akan lepas, Amerika akan marah,” kata Jokowi.
Ia menyebut akhirnya semua hal menakutkan itu tidak terjadi. Dia berkata selama ini Indonesia terlalu banyak terjebak pada ketakutan yang belum tentu benar.
Ia mengatakan keputusannya mengambil alih Freeport tidak salah. Bahkan, Indonesia sudah untung dari pembelian tahun 2018 tersebut.
”Kalau kita mau lepas lagi, kita untungnya gede banget, sudah balik, tapi ndak (akan dijual lagi), sudah mayoritas. Yang menentukan kita,” ucap Jokowi.
Jokowi berkata saat ini Indonesia memetik buah dari kebijakan tersebut. Indonesia bisa menentukan arah kebijakan perusahaan tambang di Papua itu.
”Dulu disuruh bikin smelter saja bertahun-tahun geleng-geleng terus. Sekarang enggak bisa, kita sudah 51 persen. Bikin smelter, nyatanya saya perintah, di Gresik sudah langsung dimulai karena memang pemiliknya kita sekarang,” ujarnya. :
Pemerintah Indonesia mengakuisisi saham mayoritas PT Freeport Indonesia pada 2018. Mayoritas saham perusahaan itu sebelumnya dimiliki oleh PT Freeport McMoran.
Saat itu, pemerintah lewat BUMN PT Inalum mengakuisisi Freeport dengan dana US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun. Indonesia pun memiliki 51 persen saham perusahaan tambang di Papua tersebut.