MATA INDONESIA, JAKARTA – Penanganan terhadap anak-anak eks (mantan) teroris harus hati-hati karena bila diabaikan bisa berpotensi membuat mereka terjerumus dalam ajaran kekerasan. Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menilai bahwa anak-anak rentan menjadi korban karena menjadi dikendalikan oleh orang lain untuk bergabung dengan teroris.
“Anak-anak dan perempuan lebih banyak menjadi korban, kerena menjadi posisi subordinat dan dibawah kendali pihak lain untuk bergabung dengan kelompo teroris,” kata Stanislaus kepada Mata Indonesia News, Senin 8 Maret 2021.
Maka dalam penanganannya, upaya yang dilakukan harus berhati-hati dan penuh perhitungan. Mengingat ada potens ideologi radikalisme yang ada dalam diri anak mantan teroris sudah mengakar kuat.
“Perlu penanganan yang sangat hati-hati karena banyak juga yang perilaku radikalnya sudah ekstrim,” kata Stanislaus.
Maka dalam fenomena ini negara harus hadir. Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) bahkan mendorong agar pemerintah menangani anak-anak terduga teroris yang orang tuanya sudah meninggal terlebih dahulu.
Mengingat, pengabaian terhadap anak-anak tersebut dikhawatirkan bisa menciptakan prakondisi mereka melakukan apa yang telah diajarkan oleh orang tuanya.
“Pengabaian oleh negara apalagi persekusi terhadap anak-anak terpidana dan terduga teroris, dikhawatirkan justru akan menciptakan prakondisi bagi anak-anak malang itu untuk kelak benar-benar menduplikasi perilaku kekerasan dalam mendapai tujuan,” kata Sekretaris LPAI, Henny A. Hermanoe.
Kementerian Sosial (Kemensos) juga sudah berupaya memulihkan anak-anak mantan terorisme melalui beberapa cara yaitu pendidikan, konseling, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial. Namun hal ini tergantung pada kondisi kejiawaan dari masing-masing anak. Salah satu peran dari Kemensos untuk menangani anak-anak mantan teroris yakni terhadap terduga bom di Surabaya dan Sidoarjo.