JAKARTA, NETRALNEWS.COM- Pemilu 2024, yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024, merupakan pemilu pertama dalam sejarah elektoral Indonesia yang secara serentak memilih anggota legislatif, presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pada pelaksanaannya terdapat banyak kepentingan para elite yang ingin mendapatkan kekuasaan, sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa para pemilik kepentingan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan Jurnal KPU tahun 2024 terdapat sebuah fenomena yang berupa pandemi atau wabah informasi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Fenomena tersebut berupa informasi-informasi seputar kepemiluan yang mengarus deras dan melimpah (overload of information) di ruang publik dengan tingkat akurasi yang rendah.
Dalam konteks inilah berita bohong (hoax), berita palsu (fakenews), kampanye hitam (black campaign), bahkan juga ujaran kebencian (hate speech) dan fitnah memperoleh ruang tersendiri.
Fenomena tersebut telah banyak dikaji para ahli. Namun sebagian besar kajian membahas isu ini tidak dalam kerangka perhelatan elektoral. Isu infodemi lebih banyak didiskusikan dalam kaitannya dengan gejala pandemi Covid-19 dan/atau literasi digital. Misalnya tulisan Rachmad Gustomy, “Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter” (JIIP, 2020).
Artikel ini menggambarkan bagaimana gejala infodemi (khususnya yang berkembang di platform twitter) seputar Covid-19 telah membelah masyarakat secara politik kedalam dua kutub. Yakni: kluster populis pluralis dan kluster populis Islam.
Kedua kutub politik ini terbelah dalam merespons dan menyikapi wacana kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19. Mereka bertengkar dan saling menyerang di ruang publik.
Menjadi sangat ironis ketika pertengkaran kedua kutub yang sama-sama didominasi para buzzer ini telah menenggelamkan suara-suara kelompok kritis dan rasional.
Pada mulanya, istilah buzzer merupakan konsep dalam dunia bisnis, lebih tepatnya dalam bidang pemasaran ekonomi. Buzzer merupakan teknik pemasaran barang atau jasa yang menggunakan kekuatan mata rantai informasi dari mulut ke mulut untuk menghasilkan bisnis yang menguntungkan (Mustika, 2019).
Seiring dengan perkembangan penggunaan teknologi media sosial, istilah Buzzer kemudian menjadi popular dan berkembang massif. Buzzer kemudian tidak hanya berfungsi sebagai pengunggah cuitan di media sosial, tetapi juga menjalankan fungsi-fungsi kampanye kepada follower buzz marketing.
Penggunaan buzzer di media sosial pada mulanya adalah untuk melawan atau menegasikan kampanye hitam terhadap seorang kandidat, sekaligus untuk meningkatkan citra positifnya di mata publik agar berpengaruh positif secara elektoral, sehingga kandidat politik yang dipromosikannya tidak kalah lalu tenggelam oleh sebab tebaran fitnah para kompetitornya.
Namun saat ini, istilah buzzer mengalami pergeseran fungsi yang cukup drastis. Mereka kini cenderung lebih merupakan perangkat para kontestan untuk kepentingan mengoperasikan berbagai strategi dan bentuk kampanye hitam atau kampanye negatif tanpa dasar bukti otentik dan tanpa argumen yang kuat.
Selain itu, mereka juga kerap terlibat secara masif dalam penyebaran hoax dan/atau ujaran kebencian, dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan-lawan politik, bukan membentengi kandidatnya sendiri dengan pengembangan opini positif untuk kandidatnya.
Dan kini kita telah sampai pada masa Pasca Pemilu 2024, yang dimana perbedaan sikap dalam Pemilu menimbulkan perpecahan, kini perlu dilakukan upaya menjaga harmoni di tengah perbedaan, bentuk upaya tersebut yaitu rekonsiliasi dan membangun kebangsaan pasca-pemilu.
Pandangan dari Prof Khairil Anwar (Guru Besar Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri/IAIN Palangkaraya) rekonsiliasi dinilai sangat penting bagi setiap elemen masyarakat untuk mewujudkan pascapemilu yang damai.
Adapun yang mempunyai pandangan yang sama yaitu Mohammad Anas RA (Direktur Eksekutif Fixpoll Indonesia) menyatakan adanya upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh pihak Prabowo-Gibran yang unggul dalam hasil Pilpres 2024 dinilai sebagai langkah yang baik, dikarenakan upaya rekonsiliasi perlu dilakukan untuk meredam polarisasi di tengah masyarakat, pasca Pemilu.
Namun pada pelaksanaannya rekonsiliasi Pasca Pemilu bukanlah hal yang sederhana. Sebab membutuhkan komitmen dari semua pihak untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Pada akhirnya seluruh lapisan masyarakat dan khususnya para pemuda juga diharapkan turut aktif menyuarakan kedamaian dan persatuan, salah satunya Edi (Ketua Kelompok Aktivis yang tergabung dalam Kaukus Muda Nusantara/KMN) mengajak seluruh elemen anak bangsa untuk mengawal demokrasi Pemilu dengan aman dan damai.
Jangan terprovokasi dengan isu yang tidak benar! Marilah jaga kondusifitas Negara pasca Pemilu 2024. Mari jaga persatuan dan kesatuan, hindari perpecahan dikarenakan seluruh elemen masyarakat saling menghargai satu sama lain, rapatkan barisan, lupakan perbedaan, dan fokus membangun bangsa bersama!
Sumber: https://www.netralnews.com/pemilu-sudah-usai-mari-suarakan-persatuan-dan-perdamaian/dGhSSWdoR25IazlKVFNUbU92SnRFUT09