Polisi Tetapkan 3 Tersangka, Penganiaya Audrey Cuma Diancam 3,5 Tahun Penjara

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Polisi sudah menetapkan tiga tersangka dalam kasus penganiayaan Audrey. Ketiga tersangka tersebut, yaitu FZ alias LL (17 tahun), TR alias AR (17 tahun) serta NB alias EC (17 tahun).

Kapolresta Pontianak Kota, Kombes Pol Muhammad Anwar Nasir menyebut ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 80 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman pidananya 3 tahun 6 bulan. “Kategori penganiayaan ringan berdasarkan hasil visum yang dikeluarkan hari ini oleh rumah sakit,” jelas Kombes Anwar, dikutip dari Pontianak Post, Kamis, 11 April 2019.

Dengan ancaman tersebut, lanjut dia, sesuai dengan sistem peradilan anak maka di bawah tujuh tahun dilakukan diversi. Pihaknya juga memastikan, dalam pemeriksaan tadi sudah dilakukan pendampingan dengan orang tua, kemudian BAPAS, dan KPPAD.

“Mereka mengaku telah melakukan penganiayaan tetapi tidak secara bersama-sama, atau mengeroyok,” kata Kombes Anwar.

Penetapan tersangka berdasarkan hasil penyelidikan serta pengakuan selama proses pemeriksaan. Para pelaku diketahui menjambak rambut, mendorong sampai terjatuh, memiting, dan memukul sambil melempar sendal.

Anwar menegaskan, hasil visum menyatakan tidak ada permukaan yang sobek maupun memar pada bagian organ vital korban. “Kemudian dari pengakuan korban juga tidak ada pemukulan di bagian kelamin. Dari lima saksi yang juga diperiksa juga tidak ada perlakuan penganiayaan terhadap kelamin korban,” ujarnya.

Anwar pun menjelaskan, pihaknya telah melakukan olah TKP di lokasi kejadian. “Sudah ada olah TKP. Sesuai dengan arahan Ditreskrimum Polda Kalbar kita mungkin akan melakukan rekonstruksi agar ada persesuaian,” katanya.

Dari Kasus ini, pihak kepolisian menyita barang bukti dari tangan pelaku berupa handpone, dan sendal yang dipakai untuk melempar. Anwar pun meyakini tidak ada tersangka lain dalam kasus ini.

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini