MATA INDONESIA, JENEWA – Sebuah tim penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Myanmar meminta orang-orang untuk mengumpulkan dan menyimpan bukti dokumenter tentang kejahatan yang diperintahkan oleh junta militer. Hal ini untuk menuntut pada pemimpinnya di masa mendatang.
The Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) atau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik melaporkan lebih dari 180 pengunjuk rasa tewas di tangan pasukan keamanan yang berusaha menghancurkan gelombang demonstrasi sejak junta militer merebut kekuasaan pada awal Februari.
“Orang-orang yang paling bertanggung jawab atas kejahatan internasional paling serius biasanya mereka yang memegang posisi kepemimpinan tinggi,” kata Kepala Tim PBB, Nicholas Koumjian dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters, Rabu, 17 Maret 2021.
“Mereka bukanlah orang yang secara fisik melakukan kejahatan dan bahkan seringkali tidak hadir di lokasi di mana kejahatan terjadi. Untuk membuktikan tanggung jawab mereka membutuhkan bukti laporan yang diterima, perintah yang diberikan, dan bagaimana kebijakan ditetapkan,” ucapnya.
Pada Selasa (16/3), kantor hak asasi manusia PBB mengutuk penggunaan amunisi langsung terhadap para pengunjuk rasa Myanmar. PBB juga mendesak aparat keamanan untuk menghindari pembunuhan dan menahan pengunjuk rasa.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak junta militer menggulingkan pemerintahan terpilih pada 1 Februari dan menahan pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi beserta beberapa anggotanya.
Ratusan warga Myanmar turun ke jalan menolak kepemimpinan junta militer dan mendesak untuk melepaskan Aung San Suu Kyi. Dunia internasional pun bereaksi, mengecam dan memberikan sanksi.
Penyelidik PBB mengumpulkan bukti penggunaan kekuatan mematikan, penangkapan dan penahanan para demonstran, pejabat partai terpilih, serta jurnalis, penyiksaan, dan sebuah praktik ilegal yang dikenal sebagai penghilangan paksa.
Mekanisme Investigasi Independen yang berbasis di Jenewa untuk Myanmar dibentuk oleg Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada September 2018 untuk mengonsolidasikan bukti kejahatan paling serius dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan di Myanmar sejak 2011.
Koumjian telah bekerja di pengadilan untuk menuntut tokoh-tojoh termasuk mantan Presiden Liberia, Charles Taylor dan mantan Presiden Kamboja, Khieu Samphan dan kepala ideology dari Khmer Merah Nuon Chea yang brutal.