MINEWS, INTERNASIONAL – Laut menjadi ekosistem paling tercemari dengan banyaknya sampah plastik. Jelas hal itu mengancam kehidupan makhluk hidup, bukan hanya di laut, tapi juga di darat.
Dalam laporan terbaru World Wide Fund for Nature (WWF), sebanyak 85 persen sampah yang tersebar di lautan adalah plastik.
Saat ini, dunia kini memproduksi 300 juta ton plastik setiap tahun. Sebagian besarnya adalah jenis sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang.
WWF juga menyoroti tingginya peningkatan produksi plastik sekali pakai atau tak dapat didaur ulang sejak tahun 2000. Diprediksi, 2030 nanti limbah plastik bertambah hingga 104 juta ton.
Bahkan, WWF menyebut, hanya dalam 20 tahun ke depan, diprediksi jumlah sampah plastik lebih banyak dari jumlah ikan yang hidup dan berkembang biak di laut.
Sejumlah negara dan komunitas global telah berupaya mengantisipasi isu pencemaran lingkungan di lautan. Sebagai contoh, China telah mengambil langkah tegas untuk menolak sampah-sampah dari negara-negara maju. Selama ini, sejumlah negara maju mengirim sampah mereka ke Negeri Tirai Bambu.
Penghentian pengelolaan limbah negara-negara maju di Cina ini, mendorong timbulnya langkah-langkah negara maju untuk mencari alternatif lain.
Awal tahun ini, para legislator Uni Eropa secara luas menyetujui larangan barang-barang plastik sekali pakai. Misalnya, sedotan, garpu dan pisau plastik, cotton bud, dan lain-lain.
Pelarangan ini ditujukan untuk melawan polusi di tengah upaya untuk mendorong produsen meningkatkan upaya daur ulang mereka.