MATA INDONESIA, JAKARTA – Terorisme adalah puncak ekspresi yang bermula dari eksklusivisme, puritanisme dan ekstremisme. Pergerakannya destruktif dan terencana, sementara pola serangannya menggunakan simbol-simbol agama serta ketidakpuasan terhadap politik.
Menurut peneliti BNPT dalam makalahnya yang diberikan kepada Mata Indonesia News, berjudul Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalisme di Indonesia, dijelaskan bahwa acuan dasar bagi orang untuk memahami terorisme. Pemahaman kognitif merupakan keabsahan terorisme yang dibentuk lewat interaksi sosial secara intens. Kesepahaman antar anggota sebagai bentuk nilai solidaritas menjadi penting untuk menuju jenjang ta’lim.
Inilah awal mula munculnya narasi pro terhadap cara destruktif untuk mendiskreditkan pihak lain dan caranya yaitu melalui doktrinisasi menggunakan media online atau offline. Maka sejauh ini pemerintah sudah melakukan upaya untuk menangkal narasi terorisme melalui pemblokiran media sosial.
Meski demikian perlu mempertimbangkan bermacam-macam upaya agar narasi terorisme tidak terlalu jauh memengaruhi pemahaman publik. Salah satunya yaitu melakukan kontra narasi- terorisme. Tulisan yang menggunakan jenis kata yang lebih halus namun tetap tegas terhadap aksi teror.
Sementara pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta menilai bahwa kontra narasi terorisme sejauh ini memang sudah dilakukan namun harus lebih aktif dalam pengaplikasiannya.
“Sudah dilakukan tetapi kurang maksimal, harus melibatkan generasi muda, ormas dan masyarakat luas agar lebih maksimal,” kata Stanislaus Riyanta saat berbincang dengan Mata Indonesia News, Selasa 2 Februari 2021.
Maka kegiatan kontra narasi terorisme harus dilakukan secara simultan dan efektif harus dilakukan pemerintah dan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan negara karena tanggung jawab untuk menangkal radikalisme tidak hanya tugas pemerintah dan aparat kepolisian.