MATA INDONESIA, JAKARTA – Aksi bom bunuh diri seolah sudah lekat dengan para pelaku teror. Terbukti dari berbagai ledakan bom yang terjadi di Indonesia. Mulai dari Tragedi Bom Bali I pada 2012 hingga insiden yang terjadi di Polrestabes Medan pada tahun 2019. Lantas apa yang mendorong para pelaku teror nekat melakukan bunuh diri sebagai bentuk aksi terorisme?
Menurut Robert A Pape dalam Dying to Win, The Strategic Logic Suicide Terrorism, salah satu kesulitan mengetahui penyebabnya karena setiap pelaku teror memiliki alasan yang berbeda. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari kesulitan ekonomi, dorongan keyakinan agama dan motif balas dendam serta ketidakadilan.
Francois Gere dalam Suicide Operations: Between War and Terrorism, menjelaskan bahwa filosofi bunuh diri melampaui pengorbanan diri tentara(pengorbanan diri adalah bagian tradisi militer) karena tindakan mereka disadarkan pada sebuah paradoks, di satu sisi tindakan pengorbanan itu adalah altruistik sementara di sisi lain mereka perlu menegasikan kemanusiaan dirinya sendiri dan orang lain.
Inilah tanda bahwa unsur kemanusiaan telah ditinggalkan melalui adanya serangan bom bunuh diri. Bagi para pelaku teror tujuannya adalah yang paling penting dan mereka tidak peduli terhadap orang lain. Musuhnya sudah dipandang sebagai sesuatu (thing), hama, tanpa jenis kelamin dan tidak peduli usia tua atau muda.
Selain itu menurut pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta, doktrin bunuh diri seperti ini memang merupakan tuntutan ideologi.
“Doktrin ideologi yang mereka dapatkan seperti itu, mereka merasa akan mendapatkan kemuliaan jika melakukan aksi bunuh diri, dan mereka anggap itu adalah tuntutan ideologi,” kata Stanislaus saat berbincang dengan Mata Indonesia News, Jumat 29 Januari 2021.
Maka bisa disimpulkan bahwa begitu besarnya dampak dari doktrinisasi teroris terhadap pelaku bom bunuh diri. Perlu ada langkah deradikalisasi yang menyeluruh kepada teroris agar tidak mudah termakan doktrin yang menyesatkan.