MATA INDONESIA, JAKARTA – Minyak sawit menjadi jantung referendum perjanjian perdagangan bebas antara Swiss dan Indonesia. Dengan begitu, saat ini tak ada lagi bea masuk atas ekspor Swiss seperti keju, produk farmasi, dan jam tangan.
Hal serupa terjadi dengan ekspor Indonesia ke Swiss, di mana Indonesia dapat menjual produk industrinya di pasar Swiss dengan bebas bea cukai. Penurunan tariff juga direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit, diketahui bahwa Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor sawit terbesar di dunia.
Mereka yang mendukung referendum termasuk penentang globalisasi, partai sayap kiri dan beberapa organisasi non-pemerintah (LSM). Argumen mereka menentang kesepakatan perdagangan bebas sebagian besar karena faktor lingkungan. Di mana budidaya kelapa sawit terkait dengan perusakan hutan.
Di sisi lain, para pendukung kesepakatan tersebut berpendapat bahwa minyak sawit yang diimpor harus memenuhi standar lingkungan tertentu agar memenuhi syarat untuk pengurangan tarif.
Presiden Swiss Guy Parmelin, yang juga memegang portofolio ekonomi, mengatakan masyarakat Swiss merasa kesepakatan perdagangan itu benar dan seimbang. Dia menambahkan bahwa kekhawatiran lawan akan diperhitungkan dan Swiss akan mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan.
“Pemungutan suara ini bukanlah pilihan ekonomi atas hak asasi manusia dan lingkungan,” ucap Presiden Swiss, Guy Parmelin, melansir Swissinfo,ch, Senin, 8 Maret 2021.
Namun, keputusan ini ditanggapi kecewa oleh Presiden Sosialis Muda Ronja. Sementara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Swiss, terutama yang tidak memihak dalam pemungutan suara, mengatakan bahwa hasil tersebut menunjukkan perlunya perubahan sifat perjanjian ekonomi. Alliance Sud, Society for Threatened Peoples dan Public Eye menyambut baik minat yang ditunjukkan dalam debat tentang kebijakan perdagangan Swiss.
Bersamaan dengan pemerintah Swiss, sektor kelapa sawit di Indonesia – yang sempat mengalami kemunduran kebijakan ekonomi di Eropa – juga menghela nafas lega.
“Kami berterima kasih atas hasil pemungutan suara hari ini. Kesepakatan perdagangan ini merupakan solusi yang saling menguntungkan untuk industri minyak sawit, untuk Indonesia, Swiss, dan untuk semua negara EFTA, dan akan membawa manfaat positif bagi konsumen dan eksportir Swiss, serta petani kecil Indonesia. Suara Swiss menegaskan bahwa minyak sawit Indonesia berkelanjutan,” kata juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono.
Badan industri berharap hasil ini dapat membantu meyakinkan negara-negara Eropa lainnya bahwa minyak sawit dari Indonesia adalah yang terbaik di kelasnya. Indonesia saat ini sedang melawan larangan Uni Eropa atas penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati tahun 2021.