MINEWS, JAKARTA-Saat hari raya lebaran, jutaan kendaraan setiap tahunnya meninggalkan Jakarta. Tak heran, hal ini membuat beberapa ruas jalan yang biasanya sangat padat dengan kendaraa kini lenggang. Seperti, area perkantoran seperti Jl Gatot Subroto, Jl. Satrio, dan Jl. Kemang Raya.
Meski demikian, ada realitas yang cukup mengejutkan di Idul Fitri 1440 Hijriah. Kualitas udara Jakarta rupanya masih buruk pada H-1 Lebaran.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mencatat Air Quality Index (AQI) Jakarta pada Selasa 4 Juni 2019 atau H-1 Lebaran polusi udara sempat menyentuh 210 US AQI.
Dengan angka ini, ia mengatakan Kota Jakarta menjadi juara kualitas udara terburuk di dunia pada hari itu. Angka ini mengalahkan Kota Chengdu, China, dengan 171 US AQI, dan kota Dubai, Uni Emirat Arab.
“Jakarta sempat nomor satu terburuk dengan US AQI 210. Dengan angka ini berarti masuk kategori sangat tidak sehat. Padahal Jakarta sangat lowong saat itu,” katanya, Kamis 6 Juni 2019.
Padahal salah satu sumber polutan yakni pembakaran kendaraan bermotor sudah berkurang signifikan mengingat jutaan kendaraan telah meninggalkan Jakarta. Oleh karena itu ia menuding ada sumber polutan lain yang membuat udara Jakarta sangat buruk.
Ia meminta agar Pemprov Jakarta bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa mencatat sumber-sumber polusi dan tren penurunan hingga peningkatan AQI US Jakarta.
“Harusnya tren ini ini dicatat oleh KLHK. Kadang tinggi, kadang rendah, itu harus dicari sumber polutannya. Lalu supaya ada langkah strategis yang bisa dilakukan,” katanya.
Kandungan Particulate Matte (PM) 2,5 Jakarta juga sangat tinggi pada 4 Juni 2019 pukul 00.00 WIB dengan angka 135 mikrogram/m3. Dengan angka ini, PM 2,5 di Jakarta masuk kategori tidak sehat.
PM 2,5 adalah senyawa partikel berukuran kurang dari 2,5 mikrometer. Partikel ini mengancam kesehatan masyarakat karena bisa masuk ke paru-paru hingga jantung manusia.
Alat pemantau PM 2,5 bisa mengetahui kondisi udara tingkat sehat, tidak sehat bagi orang sensitif (gangguan pernapasan atau asma), dan tidak sehat di suatu area. Alat ini bisa mengukur debu dengan partikel di bawah 2,5 mikrometer yang bisa masuk sampai ke paru-paru manusia.
Partikel udara yang terhirup oleh masyarakat yang berada di area dengan tingkat PM 2,5 bisa membahayakan paru-paru. Jika dibiarkan dalam waktu lama bisa memicu penyakit asma, bronkitis, dan Penyakit Paru Obstruktif Konstruktif (PPOK).