MINEWS.ID, JAKARTA – Melawan euphoria massa hasilnya sudah dipastikan akan babak belur. Begitulah yang dialami Belanda dan Inggris ketika menghadapi euphoria kemerdekaan Indonesia pada 1945 di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) Jalan Tunjungan Surabaya.
Adalah seorang Belanda bernama Mereka dipimpin oleh Mr. W.V.Ch Ploegman saat itu ditunjuk oleh kerajaan Belanda sebagai calon pemimpin administratif Belanda di Surabaya.
Kedatangan orang Belanda seperti Ploegman di Indonesia, membonceng pasukan sekutu Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI). Mereka bertugas melucuti senjata pasukan Jepang sebagai konsekuensi kekalahan Jepang pada sekutu, 14 Agustus 1945.
Ploegman mengklaim mewakili sekutu dan sudah bercokol di Surabaya pada 18 September 1945, mereka datang bersama rombongan Intercross dari Jakarta. Sementara Hotel Yamato adalah salah satu aset yang berhasil mereka kuasai setelah tiba Kota Pahlawan tersebut.
Sebelumnya Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby mendarat di Jakarta pada 15 September 2019.
Sementara Pemerintah Indonesia yang baru diproklamirkan Soekarno dan Hatta, pada 31 Agustus 1945 mengeluarkan maklumat yang isinya perintah mengibarkan bendera Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia sejak 1 September 1945 sebagai tanda negara baru Indonesia ada.
Saat itu, euphoria kemerdekaan sedang menggelora di setiap hati warga Indonesia karena menanti ratusan tahun untuk menjadi bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Namun, Ploegman tidak memedulikan hal tersebut. Sejak tiba di Hotel Yamato dia merancang proses pengambilalihan aset dan wilayah Indonesia agar kembali lagi menjadi bagian Kerajaan Belanda.
Sayang, dia melakukan dengan cara arogan. Beruntung banyak pemuda Surabaya pro-kemerdekaan kala itu berhasil menyusup sebagai karyawan hotel, sehingga rencana Ploegman memasang bendera Belanda di atas hotel segera menyebar secara klandestin ke pelosok Surabaya membuat jiwa perjuangan mendidih.
Benar saja pada 18 September 1945 malam, Ploegman benar-benar menjalankan rencana arogannya menantang euphoria kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berumur beberapa hari.
Saat itu Residen Surabaya Soedirman ditemani Sidik dan Haryono ajudan Residen menemui Ploegman di Lobi Hotel Yamato meminta bendera Belanda itu diturunkan.
Alih-alih dijawab dengan demokratis, Ploegman juga melakukannya dengan nada suara tinggi dan menantang aura euphoria kemerdekaan bangsa Indonesia dalam diri tiga orang tersebut.
“Republik Indonesia? Kami tidak mengakuinya,” katanya dalam Bahasa Belanda, seperti ditulis Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku ‘Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan’.
Tanpa menunggu jawaban lawan bicaranya, Ploegman beranjak ke belakang hotel mengambil pistol dan kembali lagi ke Lobi. Senjata itu ditodongkan ke arah Sudirman sambil menghardik.
Todongan itu justru membuat Sidik dan Haryono geram dengan tingkah arogan Ploegman yang melawan euphoria kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka pun berhasil merebut pistol itu.
Setelah pistol terjatuh, Sidik bergulat dengan Ploegman dan Haryono mengevakuasi Sudirman keluar hotel menuju mobilnya. Sementara Sidik terus bergelut dengan Ploegman hingga menguasai keadaan dan mencekik si Belanda hingga tewas.
Orang-orang Belanda di hotel tersebut rupanya tertarik dengan adu gulat itu setelah mendengarkan letusan pistol Ploegman. Saat itulah salah seorang di antaranya menembak Sidik hingga tewas
Pada saat yang bersamaan, beberapa pemuda memanjat dinding bangunan. Mereka berusaha mencapai lokasi bendera Belanda yang dikibarkan, salah satunya bernama Kusno Wibowo.
Hariyono yang sebelumnya mengevakuasi Sudirman turut bergabung dan meminta Kusno yang tiba di tiang bendera untuk menurunkannya. Setelah bendera Belanda diturunkan, Kusno dan Hariyanto meminta bendera merah putih, namun tidak ada yang membawanya.
Akhirnya kedua pemuda tersebut berinisiatif merobek bagian warna biru bendera tersebut, lalu dinaikkan kembali di tiang tersebut yang kita kenal sekarang dengan ‘Insiden Hotel Yamato’
Sementara, informasi kematian Sidik akibat pistol Belanda itu segera meluas ke penjuru Surabaya dan Jawa Timur sehingga memancing amarah bangsa yang sedang mengalami euphoria kemerdekaan itu.
Insiden Hotel Yamato itu kemudian memicu perlawanan-perlawanan kecil hingga puncaknya perlawanan akbar 10 November 1945 yang menewaskan Mallaby.
Euphoria kemerdekaan Indonesia pula lah yang akhirnya membuat Belanda harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia empat tahun setelah insiden tersebut.