MATA INDONESIA, JAKARTA – Para mantan pimpinan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) siap-siap terseret proses hukum. Pengurus ACT yang mengumpulkan dana donasi dari masyarakat ini ternyata memotong dananya cukup besar dan di luar aturan dan ketentuan.
Menteri Sosial ad interim Muhadjir Effendy yang juga Menko PMK mengeluarkan surat pencabutan izin pengumpulan uang dan barang (PUB) ACT karena adanya indikasi pelanggaran.
Menurut Muhadjir, langkah pencabutan izin ini karena ACT memotong uang donasi lebih besar dari ketentuan yang diatur.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan menyebutkan, pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.
Sedangkan ACT menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan. ”Angka 13,7 persen tersebut tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal 10 persen. Sedangkan kalau PUB bencana seharusnya tak ada biaya operasional dari dana yang terkumpul,” ujar Muhadjir.
Dampak dari pemotongan uang donasi ini membuat operasional pimpinan dan tim ACT membengkak luar biasa. Apalagi tak ada kontrol dan pengawasan. Akibatnya gaji dan penghasilan pimpinan dan tim ACT berlipat-lipat. Sebagai contoh, tim direksi ACT rata-rata gajinya di atas 200 juta rupiah. Demikian juga dengan tingkatan manajer. Gajinya bisa mencapai 40-80 juta.
Selain itu para pimpinan dan tim nya juga menggunakan sejumlah fasilitas mewah berupa mobil operasional jenis Alphard dan apartemen.
Lembaga ACT juga mengakui ada pemotongan itu. President ACT Ibnu Hadjar mengatakan pemotongan tersebut untuk operasional termasuk membayar gaji.
Dia beralasan, banyaknya pemotongan karena ACT bukanlah lembaga amal, melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). “Kami perlu sampaikan bahwa ACT adalah lembaga kemanusiaan yang memiliki izin dari Kemensos. Bukan lembaga amil zakat yang izinnya dari Baznas atau Kemenag. Jadi ini yang perlu kami sampaikan untuk memahami posisi lembaga Aksi Cepat Tanggap. ACT adalah NGO yang sudah berkiprah di 47 negara,” ujarnya, Senin 4 Juli 2022.
ACT adalah lembaga filantropi profesional berskala global yang merespons cepat masalah-masalah penyelamatan kemanusiaan melalui program-program yang kreatif, holistik dan massif. Melibatkan peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik.
Tanggal 21 April 2005, Aksi Cepat Tanggap (ACT) secara resmi muncul secara hukum sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Untuk memperluas karya, ACT mengembangkan aktivitasnya, mulai dari kegiatan tanggap darurat, kemudian mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan pascabencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat dan Wakaf.
ACT mendapat dukungan dari masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap permasalahan kemanusiaan dan juga partisipasi perusahaan melalui program kemitraan dan Corporate Social Responsibility (CSR). Sebagai bagian dari akuntabilitas keuangannya ACT secara rutin memberikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik kepada donatur dan pemangku kepentingan lainnya, serta mempublikasikannya melalui media massa.
Sejak tahun 2012 ACT mentransformasi menjadi sebuah lembaga kemanusiaan global, dengan jangkauan aktivitas yang lebih luas. Pada skala lokal, ACT mengembangkan jejaring ke semua provinsi baik dalam bentuk jaringan relawan dalam wadah MRI (Masyarakat Relawan Indonesia) maupun dalam bentuk jaringan kantor cabang ACT. Jangkauan aktivitas program ACT sekarang sudah sampai ke 30 provinsi dan 100 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pada skala global, ACT mengembangkan jejaring dalam bentuk representative person sampai menyiapkan kantor ACT di luar negeri. Jangkauan aktivitas program global sudah sampai ke 22 Negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Indocina, Timur Tengah, Afrika, Indocina dan Eropa Timur.
Sayangnya niat mulia ini sekarang berantakan karena kerakusan para pengurusnya. Masyarakat pun sebagian besar sudah tak mempercayai keberadaan ACT karena khawatir donasinya hanya digunakan untuk gaji para pengurusnya.