MATA INDONESIA, KHARTOUM – Duta Besar Sudan untuk 12 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Uni Emirat Arab, Cina, dan Prancis menolak pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan oleh militer.
Begitu juga dengan Duta Besar Sudan untuk Belgia, Uni Eropa, badan-badan PBB, Cina, Afrika Selatan, Kuwait, Turki, Swedia, dan Kanada yang turut menandatangani pernyataan tersebut. Mereka menyatakan untuk mendukung perlawanan rakyat terhadap kudeta.
Negara-negara Barat mengecam kudeta itu, menyerukan agar para menteri Kabinet yang ditahan dibebaskan. Mereka juga menegaskan akan menghentikan bantuan jika militer tidak memulihkan pembagian kekuasaan dengan warga sipil.
Sebelumnya, AS menangguhkan bantuan senilai 700 juta USD atau sekitar 10 triliun Rupiah ke Sudan setelah pengambilalihan militer dan mendesak pemulihan segera pemerintah sipil. Pun dengan misi Jerman untuk PBB yang akan menangguhkan bantuan untuk Tanduk Afrika tersebut.
Alex De Waal dari yayasan Perdamaian Dunia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa campur tangan militer adalah pertaruhan luar biasa. “Tampaknya (Abdel Fattah al-Burhan) hanya menggali lebih dalam ke dalam lubang,” kata Waal.
“Ia sudah menghadapi penangguhan bantuan AS. Ada yang menduga bahwa pembebasan utang yang telah dirundingkan dengan susah payah oleh pemerintah sipil kini akan ditunda. Seseorang mencurigai kelompok-kelompok bersenjata yang belum menandatangani perjanjian damai, yang merupakan yang paling kuat di Darfur … tidak akan menandatangani perjanjian apa pun,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengecam “epidemi kudeta” karena Sudan adalah yang terbaru dalam serangkaian pengambilalihan militer di sejumlah negara, seperti Myanmar, Mali dan Guinea dan percobaan kudeta di beberapa negara lain.