MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Dosen senior hubungan internasional di School of Oriental and African Studies di University of London, Avinash Paliwal mengatakan, Myanmar tidak akan terisolasi, seperti yang terjadi di masa lalu. Ia yakin negara-negara seperti Cina, India, Jepang, serta ASEAN tidak akan memutuskan hubungan.
“Secara geo-strategis, negara ini terlalu penting (sehingga takkan mungkin terisolasi). AS dan negara Barat lainnya akan memberikan sanksi, tetapi kudeta ini dan konsekuensinya akan menjadi cerita Asia, bukan cerita Barat,” kata Avinash Paliwal, melansir Reuters, Rabu, 10 Desember 2021.
Myanmar masih diwarnai dengan aksi demonstrasi di berbagai kota. Selain menuntut militer mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah terpilih, demonstran juga mendesak amandemen Undang-Undang Dasar 2008.
Di mana demonstran menuntut untuk menghapus pasal yang menyatakan memberikan hak veto kepada fraksi militer di parlemen dan hak untuk menguasai sejumlah kementerian, serta sistem pemerintahan federal di negara multietnis tersebut.
Demonstrasi yang terjadi saat ini juga merupakan yang terbesar di Myanmar dalam lebih dari satu dekade, menghidupkan kembali ingatan hampir setengah abad yang lalu. Saat itu, pemerintahan langsung militer dan gelombang pemberontakan berdarah hingga militer memulai proses penarikan diri dari politik tahun 2011.
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw), Jenderal Min Aung Hlaing, menggulingkan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi pada Senin, (1/2). Min menyalahkan para politikus yang dianggap tidak mampu menyelesaikan sengketa pemilu sehingga memicu kudeta.
Militer Myanmar menuduh adanya indikasi kecurangan sehingga Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangi pemilihan umum pada November tahun lalu. Pada pemilu yang dimenangkan NLD secara telak tersebut, setidaknya ada 8 juta pemilih palsu.
Jenderal Min menyatakan akan mengadakan pemilihan umum yang jujur dan bebas, setelah status masa darurat nasional selama satu tahun dinyatakan berakhir. Saat ini Kepolisian Nasional Myanmar menjerat peraih Nobel Perdamaian, Aung Sa Suu Kyi dengan kepemilikan enam walkie-talkie yang diimpor secara ilegal. Aung San Suu Kyi ditahan hingga 15 Februari.