Mata Indonesia, Jakarta – KPAI menggelar pertemuan Focus Group Discussion pada Selasa (28/11/2023) terkait peran negara dalam menyikapi tingginya angka anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup di Indonesia. FGD tersebut dibuka secara langsung oleh Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah. FGD tersebut digelar dalam rangka mengingat pentingnya pengawasan yang komprehensif untuk melihat dan memetakan situasi permasalahan kasus ini secara langsung.
Ai menuturkan, pihaknya bersama mitra strategis berkoordinasi dan bersinergi dalam menangani anak-anak yang mengakhiri hidupnya. Ai juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena tersebut. Untuk itu negara harus memperkuat apa yang sebenarnya menjadi akar permasalahan tersebut.
“Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 disampaikan bahwa tantangan hari ini adalah kesehatan jiwa. Sehingga tentu FGD ini menjadi langkah dan juga sebagai ruang yang strategis untuk menemukenali kenapa ini terjadi kemudian membangun kerangka perlindungan anak sebab situasi perlindungan khusus anak tidak se-sistematis pemenuhan hak anak, tantangan terbesarnya adalah sejauh mana anak menjadi pelaku/korban dengan ditarik mengapa di sektor hilir terjadi peristiwa tersebut dan angkanya tinggi,” pungkas Ai.
Salah satu Anggota KPAI, Diyah Puspitarini, mengatakan, ada berbagai upaya pencegahan dalam kasus anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup. Upaya tersebut harus terus menerus dilakukan untuk melawan keinginan mengakhiri hidup, contohnya seperti terus meningkatkan sisi penguatan keluarga dengan pengasuhan positif dan mengedukasi anak-anak terkait literasi digital yang baik. “Pada satuan pendidikan, guru dapat memberikan bimbingan konseling kepada anak-anak yang bermasalah secara rutin”, ungkap Diyah.
“KPAI terus mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk terus melakukan upaya pencegahan dengan mensosialisasikan secara massif tentang bahaya mengakhiri hidup serta bagaimana pemulihan terhadap anak secara optimal dengan melibatkan institusi terkait. Sebab, dalam anak mengakhiri hidup perlu adanya pendampingan psikososial bagi keluarga ataupun teman terdekat korban”, jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Vensya Sitohang mengungkapkan, sebesar 50 persen gangguan jiwa berawal sebelum usia 14 tahun dan ada banyak faktor penyebab kerentanan gangguan jiwa. Lebih lanjut, faktor tersebut seperti faktor biologis yaitu riwayat kesehatan jiwa dan genetik yang menurun dalam keluarga, lalu faktor psikologis seperti pengelolaan emosi yang rendah dan juga resiliensi diri rendah juga faktor sosial pola asuh yang tidak baik juga relasi dengan keluarga yang tidak baik.
“Berbagai upaya penting untuk dilakukan dalam menyelamatkan kesehatan jiwa baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang proaktif, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat”, ujar Vensya.
(Humas KPAI)