Korban Banjir Samarinda Sudah Tembus 30 Ribu Jiwa

Baca Juga

MINEWS, KALTIM – Banjir di Samarinda, Kalimantan Timur benar-benar parah. Bahkan, sampai Selasa 11 Juni 2019 malam, tercatat sebanyak 30.580 jiwa dari 9.358 KK terdampak banjir.

Sekretaris BPBD Kota Samarinda Hendra AH berkata warga yang terdampak ini tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Sungai Pinang dan Kecamatan Samarinda Ulu.

“Paling banyak di Kecamatan Sungai Pinang yakni 23.261 jiwa yang tersebar di empat kelurahan,” ujar Hendra di Samarinda.

Korban terbanyak selanjutnya adalah di Kecamatan Samarinda Utara yakni 13.794, tersebar di Kelurahan Sempaja Timur sebanyak 2.534 jiwa atau 828 KK.

Ketinggian air di kelurahan ini antara 25 cm hingga 100 cm. Ketinggian air rata-rata pada 14 kawasan di kelurahan ini antara 25-75 cm, sedangkan banjir paling dalam terjadi di Perumahan Bumi Sempaja, terutama di RT 1 ketinggiannya mencapai 100 cm.

Pada Kelurahan Sempaja Utara, lanjutnya, terdapat 2.511 jiwa yang terdampak banjir. Mereka tersebar pada 705 KK di sembilan RT dengan ketinggian air rata-rata 50 cm.

Kemudian di Perumahan Griya Mukti, Kelurahan Sempaja Selatan tercatat ada 797 KK dengan 3.985 jiwa korban banjir, antara lain di RT 27 ada 1.000 jiwa, RT 28 ada 590 jiwa, RT 32 terdapat 572 jiwa, dan RT 33 terdapat 650 jiwa.

Di Perumahan Griya Mukti, Kelurahan Gunung Lingai, lanjutnya, terdapat 1.390 KK dengan 4.764 jiwa yang terdampak banjir, antara lain di RT 08 ada 420 jiwa dengan ketinggian air antara 80-170 cm.

Selanjutnya di Kecamatan Sungai Pinang yang jumlah korban banjir sebanyak 23.261 jiwa itu tersebar di Kelurahan Temindung Permai sebanyak 3.691 KK dengan 7.912 jiwa, Kelurahan Bandara ada 1.620 KK dengan 6.000 jiwa, Sungai Pinang Dalam ada 260 KK dengan 1.300 jiwa, dan Kelurahan Mugirejo ada 99 KK dengan 373 jiwa.

Lalu di Kecamatan Samarinda Ulu terdapat 328 KK dengan 1.201 jiwa yang terdampak banjir, yakni di Kelurahan Sidodadi, antara lain RT 27 ada 100 KK dengan 431 jiwa dan di RT 28 ada 134 KK dengan 403 jiwa.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini