MATA INDONESIA, JIMBARAN – Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo (SYL) membuka kegiatan Global Forum sebagai awal dari rangkaian kegiatan Agriculture Ministers Meeting (AMM) G20 Indonesia. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Intercontinental Jimbaran, Bali, pada Selasa 27 September 2022 siang.
Mengangkat tema “Transformasi Pertanian Digital dalam Percepatan Kewirausahaan Perempuan dan Pemuda”, Menteri SYL mengajak dunia mengimplementasikan teknologi digital dalam sektor pertanian.
Saat membuka Pertemuan Agriculture Ministers Meeting (AMM), Menteri SYL menegaskan bahwa persoalan pangan adalah persoalan human rights. “Kehadiran seluruh delegasi di sini menunjukkan komitmen kita semua untuk mengatasi ancaman krisis pangan global. Dan memberi dukungan penuh kepada Presidensi G20 Indonesia,” ujar Menteri SYL.
Pangan adalah kebutuhan dasar bagi keberlanjutan hidup manusia. Yang jika tidak tersedia dapat menciptakan kondisi yang mengancam kehidupan. Oleh karenanya, hak atas pangan yang layak adalah hak asasi manusia.
Hak atas pangan ada dalam ICESCR Pasal 11 Ayat (1) sebagai berikut:
“Negara-negara peserta kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian dan perumahan layak, serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin terwujudnya hak ini, dan mengakui pentingnya kerja sama internasional sukarela untuk mencapai tujuan ini.”
Hak atas pangan juga ada dalam UUD 1945 Pasal 28H tentang hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir batin. Ini juga ada dalam Undang-Undang Pangan 18/2012, dan karena Indonesia juga merupakan peserta ICESCR, maka hal tersebut tercantum pada UU 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Ekosob.
Hak atas pangan mencakup tiga pilar utama. Yaitu ketersediaan, akses, dan kelayakan. Itulah sebabnya, untuk menjamin hak setiap orang atas pangan, ketiga pilar tersebut harus menjadi dasar pelaksanaan upaya nasional untuk pemenuhan hak atas pangan.
Meskipun sudah memiliki UU tentang ketahanan pangan, Indonesia masih berada di peringkat ke-72 dari 109 negara dalam hal kerawanan pangan dan ketahanan pangan. Menurut Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index). World Food Program menemukan tantangan-tantangan sebagai berikut:
- Ketahanan pangan meningkat antara 2009 dan 2015, dengan 58 dari 398 kecamatan (district) pedesaan yang sangat rentan pada 2015. Namun kemajuan ini dapat terhambat jika tantangan terkait akses pangan, malnutrisi, dan kerentanan terhadap bahaya terkait iklim tidak teratasi.
- Stunting mempengaruhi 37 persen balita. Dan bersama dengan berat badan rendah (underweight) secara luas di seluruh kelompok pendapata. Sementara itu prevalensi berat badan berlebih (overweight) dan obesitas di kalangan orang dewasa meningkat tajam. Juga untuk seluruh kelompok pendapatan;
- Kemiskinan dan harga pangan yang tidak stabil menghambat akses kepada pangan khususnya di wilayah terpencil. Mayoritas masyarakat Indonesia, termasuk 60 persen petani subsisten, membeli bahan pangan mereka di pasar; Indonesia bercita-cita menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula. Upaya untuk meningkatkan produksi sedang berjalan, namun perubahan iklim mengakibatkan pertanian dan pencaharian masih rentan terhadap iklim ekstrem; Indonesia juga mengalami ancaman bencana alam dalam frekuensi yang tinggi.
Seluruh tantangan itu membuat perjuangan untuk memperkuat ketahanan pangan, mengakhiri kelaparan, dan perbaikan gizi. Ketiganya menjadi krusial untuk jadi prioritas dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam arahannya di acara AMM G20 Indonesia, Menteri SYL pun mengungkapkan, tantangan global saat ini, mulai dari krisis perubahan iklim, pandemi Covid-19, serta eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia.
Hal itu menuntut gerakan dan komitmen bersama seluruh negara-negara G20 untuk mengambil tindakan segera mendorong percepatan transformasi sistem pertanian dan pangan. “Kita harus melakukan tindakan segera dalam jangka pendek. Jangka menengah, dan jangka panjang. Ini untuk mendorong percepatan transformasi sistem pertanian dan pangan menjadi lebih efisien, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Serta memastikan produksi pangan, gizi, dan lingkungan yang lebih baik, tidak ada yang terlewatkan dan tertinggal,” ujarnya.
Oleh karena itu, pertemuan tersebut akan fokus pada diskusi tiga isu prioritas.
- Pertama, mempromosikan sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan berkelanjutan.
- Kedua, mempromosikan perdagangan pertanian yang terbuka, adil, transparan, dan nondiskriminatif. Untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan untuk semua.
- Yang ketiga, kewirausahaan pertanian inovatif melalui pertanian digital untuk meningkatkan penghidupan petani di pedesaan.
Ketiga isu prioritas tersebut, akan mudah terealisasi apabila semua negara G20 berkomitmen untuk bergerak bersama. “Kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang. Kami yakin, hanya dengan kolaborasi dan sinergi yang erat kita dapat mewujudkan Recover Together, Recover Stronger,” ujarnya.
Berbagai komitmen pada Forum AMM nantinya memiliki kontribusi nyata dalam mendukung pemulihan ekonomi pascapandemi. Tentunya, juga dapat mendukung ketahanan sistem pangan dan pertanian di tingkat global.