MATA INDONESIA, JAKARTA – Dalam tiga tahun terakhir, aksi kelompok bersenjata di Papua kian merajalela. Sebanyak 36 personel TNI-Polri gugur, dan 59 warga sipil tewas. Aksinya ialah gabungan dari separatisme, premanisme, dan terorisme.
Daerah segi tiga hitam itu menunjuk pada Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, dan Lanny Jaya. Julukan itu dilontarkan Irjen Paulus Waterpauw ketika menjabat sebagai Kapolda Papua pada 2019, untuk menggambarkan tingkat keamanan yang rawan di ketiga daerah tersebut. Sejak itulah sebutan “segi tiga hitam” menjadi populer. Hingga kini Paulus Waterpauw menjabat sebagai Kepala Badan Inteljen dan Kemamanan (Intelkam) Polri, julukan itu belum bisa dicabut.
Di daerah segi tiga hitam itu beberapa kelompok kriminal bersenjata (KKB) aktif beroperasi. Mereka mengklaim diri sebagai bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), yang punya hubungan dengan kelompok OPM di luar negeri serta para pemuda klandestain di sejumlah kota. Mereka melakukan gerakan politik atas nama OPM. Modusnya adalah aksi massa di perkotaan dengan kekerasan bersenjata di pedalaman.
Dalam lima tahun terakhir, tindakan kekerasan kelompok separatis Papua ini meningkat. Bahkan, eskalasinya menjadi-jadi di 2021, dengan episentrum di Kabupaten Puncak Intan Jaya dan Kabupaten Puncak. Kejadian kekerasan di empat bulan pertama di 2021 mencapai 51 kasus, tak berselisih jauh dari sepanjang 2020 yang 65 kasus.
Dalam laporannya yang berjudul Kekerasan di Papua, Tim Gugus Tugas Papua dari UGM Yogyakarta mencatat bahwa pada kurun 2010–April 2021, korban kekerasan meninggal dari pihak TNI sebanyak 56 orang, Polri 34 orang, masyarakat sipil 275 orang, dan anggota KKB 30 orang. Bila dipilah pada lima tahun terakhir, 2017 hingga April 2021, korban jiwa dari TNI 32 orang, Polri 18 orang, dan masyarakat sipil 183 orang.
Jatuhnya korban jiwa dari kalangan sipil melonjak pada 2019, yakni 98 orang. Sebagian dari mereka merupakan korban kerusuhan yang terjadi sejumlah kota di Papua pada Agustus–September 2019. Di Wamewa, ada 33 warga tewas ketika rumah-rumah toko mereka dibakar massa. Sebagian lainnya mengalami kekerasan di jalanan yang mengakibatkan kematian.
Tim Satgas UGM yang dipimpin oleh Bambang Purwoko mencatat bahwa sepanjang 2010-2021, wilayah yang secara laten diwarnai aksi-aksi kekerasan adalah Kabupaten Intan Jaya, Puncak Jaya, Nduga, dan Mimika. Tim dari UGM itu menyebutnya sebagai daerah dengan tingkat kekerasan tinggi. Belakangan Kabupaten Puncak juga masuk dalam kategori tinggi.
Kecuali Kabupaten Mimika, empat daerah lainnya tergolong daerah yang tertinggal, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah. Dengan rata-rata IPM 60,44 (2020) di Papua (masuk kategori sedang), IPM di Puncak Jaya 48,37, Intan Jaya 47,79, Puncak 43,04, bahkan Nduga sangat renda yakni 31,55. Sedangkan di Mimika, IPM telah mencapai 74,19 dan secara nasional IPM Indonesia 71,74.
Dari waktu ke waktu, milisi kelompok ini bergerak dari satu daerah ke daerah yang lain, menghindar dari kejaran petugas keamanan. Namun, operasi mereka masih di sekitar daerah dataran tinggi di daerah pedalaman, yang biasa di sebut kawasan Pegunungan Tengah.
Aktor utama rentetan kekerasan itu adalah milisi kelompok separatis yang kemudian mendatangkan reaksi berupa operasi penegakan hukum oleh TNI-Polri. Korbannya bukan hanya gerombolan KKB dan TNI-Polri, melainkan juga masyarakat sipil, termasuk tokoh agama, tokoh adat, tenaga kesehatan, buruh bangunan, pedagang, tukang ojek, guru, dan pelajar.
Sejak 2010 hingga April 2021, tercatat ada korban jiwa 395 orang dari semua kelompok. Jumlah korban meninggal bisa jadi lebih banyak dari angka itu, karena tak semua tercatat dan diberitakan oleh media massa. Pola kekerasan pun semakin brutal. Selain tembakan senjata api, tindak kekerasan juga dilakukan dengan pembacokan, pembakaran pesawat terbang, pembakaran rumah dan kios-kios, penjarahan, hingga pemerkosaan.
Dari seluruh tindak kekerasan di kawasan tersebut, hampir 70 persen bermotifkan separatisme, yakni unjuk kekuatan untuk membangkang dari pemerintah yang sah. Kendati begitu, modus yang dilakukan adalah gabungan antara premanisme dan terorisme.
Di Intan Jaya, seorang tenaga medis di Distrik Wanggai menjadi korban penembakan (22 Mei 2020). Seorang tukang ojek di Distrik Sugapa dibacok hingga lengan kirinya putus (17 September 2020). Pada hari yang sama, seorang prajurit TNI, anggota Koramil Hitadipa, dihadang KKB dibacok dan ditembak hingga tewas sepulang belanja logistik dari Sugapa.
Tidak berselang lama, anggota Koramil Hitadipa lainnya ditembak dan meninggal dunia sebelum sempat mendapatkan pertolongan medis.
Di Kabupaten Puncak, kelompok separatis membakar habis BTS 4 dan BTS 5 Palapa Ring yang belum lama dipasang di gunung-gunung. Kejadian itu berlangsung pada 4 dan 6 Januari 2021. Sebelumnya, dua pelajar SMA Ilaga tewas ditembakdan seorang lainnya terluka ketika dihadang dan diserang dalam perjalanan pulang ke kampungnya (20 November 2020).
Dua orang guru ditembak mati di Distrik Beoga, pada 8 dan 9 April 2021. Berikutnya, seorang siswa SMA Distrik Ilaga pun disambar peluru KKB (16 April 2021). Insiden penembakan guru di Distrik Beoga itu yang membuat Kepala Badan Inteljen Negara Daerah (Kabinda) Papua Brigjen Putu Danny Karya Nugraha melakukan peninjauan di lokasi pada 25 April 2021.
Dalam perjalanan ke lokasi, rombongan Brigjen Putu Danny, yang bergerak dengan sepeda motor, mendapat serangan. Brigjen Putu Danny terkena tembakan dan gugur. Eskalasi kekerasan yang makin tak terkendali itu membuat pemerintah menetapkan aksi kekerasan KKB itu sebagai tindak kejahatan terorisme.
Ketika menyatakan status terorisme itu pada 4 Mei 2021, Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan bahwa dalam tiga tahun terakhir gerombolan kelompok separatis ini telah melakukan serangan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa 95 orang. Rinciannya adalah, warga sipil 69 orang, personel TNI 27 orang, dan anggota Polri 9 orang.
Jatuhnya korban jiwa itu tentu mendatangkan trauma dan rasa tidak aman bagi masyarakat, serta mengganggu kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Alhasil, pembangunan jalan raya Wamena, Mulia, ke Ilaga terganggu. Jalur tembus Mimika-Ilaga juga tertunda.
Gerombolan kelompok separatis tampaknya lebih memilih agar daerah operasinya tetap terisolir. Maka, segala kegiatan pembangunan harus digagalkan. Maka, mereka bergegas menebar teror setelah melihat gerakan pembangunan insfrastruktur Presiden Joko Widodo memperoleh dukungan dari masyarakat.
Sabotase pun dilakukan. Pasalnya, mereka khawatir kemajuan daerah dan masyarakatnya bakal membuat KKB kehilangan pijakan. Maka serangan pun dilancarkan terhadap para pekerja yang bertugas membangun jalan raya di pegunungan. Guru-guru dan tenaga medis pun diburu. Sebagian dianiaya, dilecehkan, dan dibunuh.
Pemerintah pun kini menjawab masalah dengan penindakan hukum yang lebih keras sebagaimana layaknya merespons gerakan terorisme. Pasukan TNI-Polri pun semakin intens memburu kelompok-kelompok bersenjata itu. Pengejaran terus dilakukan demi menangkap para pelakunya, hidup atau mati.