MATA INDONESIA, JOHANNESBURG – Kekerasan dan penjarahan di beberapa kota di Afrika Selatan, yang dipicu oleh penangkapan mantan Presiden Jacob Zuma, meluas. Kejadian memilukan ini membuktikan bahwa negara dengan ekonomi paling maju di Benua Afrika itu sedang tidak baik-baik saja.
Kebijakan pemerintah kembali memberlakukan lockdown ketiga kian memperburuk kesengsaraan rakyat dan angka pengangguran yang kian meningkat di setiap harinya. Akibatnya, kekerasan dan penjarahan pun tak dapat terelakkan.
Kini, jumlah korban meninggal dunia akibat aksi protes yang dibumbui kekerasan dan penjarahan di Afrika Selatan meningkat, dari semula enam menjadi 72 orang – beberapa di antaranya terinjak sampai mati. Sementara polisi telah menangkap 1,234 orang yang terlibat dalam aksi tersebut.
Aparat kepolisian mengatakan, massa ditangkap karena terlibat aksi protes di Provinsi KwaZullu-Natal dan Gauteng. Selain itu massa tersebut juga melakukan penjarahan dan perusakan di toko-toko.
“Orang-orang lelah dan frustrasi dengan seluruh situasi ini,” kata Abram Lekganyane yang merupakan seorang pedagang di Pusat Perbelanjaan Pan Afrika di kota Johannesburg, Alexandra, melansir The Wall Street Journal.
Lekganyane mengatakan bahwa ketika ia memeriksa barang dagangannya di fasilitas penyimpanan terdekat, ia melihat orang-orang pergi dengan membawa segala barang, mulai dari televisi plasma hingga sound system dan bahan makanan.
“Percikannya mungkin (Jacob) Zuma. Sekarang ini adalah revolusi melawan lockdown, karena tidak ada yang disediakan,” sambungnya.
Kerusuhan berawal selama akhir pekan, ketika protes meletus di provinsi asal Zuma, KwaZulu-Natal atas penangkapan mantan presiden karena menghina pengadilan. Zuma, yang mengundurkan diri tiga tahun lalu tetapi masih mendapat dukungan dalam Kongres Nasional Afrika yang berkuasa, telah dijatuhi hukuman 15 bulan penjara karena menolak bersaksi di komisi pemerintah yang menyelidiki tuduhan korupsi yang meluas selama sembilan tahun kekuasaannya. Dia telah membantah melakukan kesalahan.
Pada saat protes mencapai pusat kota dan kota-kota miskin Johannesburg, penduduk mengalihkan kemarahan mereka ke toko-toko dan mal karena ekonomi Afrika Selatan yang tenggelam ke dalam resesi terdalam yang pernah tercatat. Pejabat dan saksi mengatakan beberapa penjarah adalah penjahat berpengalaman, tetapi yang lain hanya memanfaatkan kesempatan untuk mengambil apa pun yang mereka bisa.
Pada akhir Juni, penerus Zuma, Presiden Cyril Ramaphosa, menutup sekolah, restoran, pusat kebugaran, dan bisnis lainnya untuk ketiga kalinya guna membendung lonjakan kasus Covid-19 yang telah melampaui dua gelombang sebelumnya. Meskipun beberapa pembatasan telah dilonggarkan pekan ini, jutaan orang Afrika Selatan masih belum bekerja dan tidak dapat menafkahi keluarga mereka.
Tingkat pengangguran resmi mencapai 33 persen pada akhir Maret, angka tersebut naik menjadi 43 persen. Menurut survei yang dilakukan periode Maret dan April, lebih dari 10 juta dari 60 juta warga Afrika Selatan telah mengalami kelaparan selama tujuh hari terakhir. Sejak itu, pembayaran bantuan pandemi untuk warga termiskin sebesar 350 rand Afrika Selatan per bulan, setara dengan sekitar 24 USD, ditiadakan.
“Ramaphosa harus mengembalikan 350 (rand) kami jika tidak, kami tidak akan berhenti menjarah. Kita semua di sini… kami menderita,” kata seorang pemuda di luar mal Johannesburg.
Di kota lain, pemilik toko komputer kecil menyaksikan bagaimana orang-orang menjarah bisnis keluarganya, setelah gagal meyakinkan polisi dan penjaga keamanan bersenjata untuk campur tangan.
“Kamera hanya berjalan sebentar setelah mereka masuk, dan kami bisa melihatnya dari jarak jauh, sampai mereka akhirnya mencuri kamera juga. Ini membuat situasi yang sudah buruk dengan Covid menjadi lebih buruk,” ucap sang pemilik toko.