MATA INDONESIA, JAKARTA – Lebih dari 70 persen subsidi justru milik kelompok masyarakat yang mampu.
Pada kenyataannya, konsumsi BBM bersubsidi seperti Pertalite melonjak. Terutama setelah Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga Pertamax. Migrasi para pemilik kendaraan yang awalnya menggunakan Pertamax lalu beralih ke Pertalite pun tak terelakkan.
Abra Talattov, Ekonom INDEF menilai kebijakan subsidi energi yang tidak berubah dari terbuka menjadi tertutup akan menjadi bumerang bagi APBN. Ini akan terus menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memikirkan tambahan subsidi dan kuota BBM bersubsidi.
”Jadi yang kita lihat di tahun 2022 ini. Meski pemerintah telah menambah anggaran subsidi energi menjadi Rp502 triliun. Tapi kebijakannya tidak berubah maka akhirnya terjadi migrasi konsumen produk BBM non subsidi ke BBM bersubsidi,” ujarnya.
Abra berpendapat bahwa tahun ini adalah momentum yang paling tepat dalam melakukan reformasi kebijakan subsidi energi. ”Momentum reformasi kebijakan subsidi energi harus segera cepat di semester dua ini. Sebab, ini akan membuat perubahan drastis kebijakan subsidi energi”, kata Abra.
Selain itu, kebijakan ini menurutnya juga akan menimbulkan beberapa implikasi seperti inflasi. Meski sifatnya temporer serta resistensi dan pro kontra dari masyarakat terhadap kebijakan baru. ”Saya pikir momentum tepat adalah di tahun ini. Jika ternyata ada ekses negatif dari kebijakan transformasi subsidi energi, pemerintah masih bisa meredamnya,” katanya.
Misalnya, targetnya pemerintah 40 persen masyarakat terbawah, tapi ternyata masyarakat yang 50 persen sampai 70 persen berteriak mereka butuh. ”Mungkin pemerintah masih bisa memperluas pemberian subsidi energi. Bukan hanya 40 persen terbawah, tapi sampai 70 persen. Tetapi ini akan ada evaluasi seperti apa besaran subsidi. Seberapa besar efisiensi dari perubahan kebijakan subsidi energi secara tertutup,” kata Abra.
Menurut Abra pemerintah perlu segera melakukan perbaikan kebijakan mengenai segmen masyarakat yang berhak membeli BBM bersubsidi. Bahkan kalau perlu mekanisme subsidi ini dilakukan secara targetted artinya langsung ke terhadap individu atau rumah tangga, bukan berdasarkan kendaraan ataupun terhadap barang.
“Di beberapa negara seperti di Inggris ada kebijakan pemberian voucher energi khususnya untuk listrik. Ini sebetulnya sangat relevan jika diterapkan di Indonesia sebab dalam beberapa program perlindungan sosial juga sudah targetted seperti PKH dan bantuan pangan non tunai. Artinya secara infrastruktur dan best practice di negara kita pun sudah ada. Tinggal menentukan data mana yang akan digunakan, kelompok masyarakat atau desil mana yang akan diberikan bantuan subsidi energi,” ujar Abra.