MATA INDONESIA, JAKARTA – Saat ini penting merawat moderasi keagamaan di kalangan anak muda dan membendung paham intoleran. Sebab di era digital sekarang, kalangan milenial menjadi sasaran empuk gerakan paham intoleran dalam menanamkan ideologinya.
Hal ini disampaikan Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr Abdur Rozaki. Sebagai populasi terbesar penduduk Indonesia, termasuk mahasiswa, mereka diperebutkan banyak pihak, mulai dari momen kontestasi politik elektoral sampai politik keagamaan.
”Bagaimana mobilisasi politik keagamaan selalu menyertakan anak-anak muda di depan. Mereka sangat aktif berselancar melalui digital media, termnasuk mengonsumsi isu-isu keagamaan,” kata Abdur Rozaki.
Kalangan milenial ini memiliki gaya hidup instan, menghadapi kecemasan masa depan, kepanikan moral, rentan kehilangan orientasi dan identitas diri, sehingga mudah tergoda menerima ajakan model keberagaam yang serba instan, baik dari kelompok salafi-wahabi, tarbawi, tahriri dan jihadi.
Dia menyontohkan bomber di hotel Ritz Carlton, bom di Majalengka yang menjadi aktor kebanyakan adalah anak-anak muda. Sebabnya karena mereka memiliki kecemasan masa depan dan mengonsumsi isu keagaman di dunia digital.
Rozaki memetakan bagaimana penetrasi kelompok islamisme di kalangan milenial, khususnya di Indonesia. Menurut dia ada dua ciri pendekatan, yakni soft power dan hard power.
Soft power diperankan Salafi-Wahabi, HTI dengan memanfaatkan ruang demokrasi dan mengampanyekan gaya hidup salafis. Pendekaran hard power ada di komunitas Salfis Jihadis, ISIS, JAD yang memperjuangkan ideologinya dengan pendekatakan kekerasan, seperti jihad bom.
“Mereka semua mengembangkan ideologinya di kalangan milenial khsususnya, baik online dan offline,” kata Rozaki.