MATAINDONESIA, JAKARTA – Menjelang akhir 1990 nama Arswendo Atmowiloto tiba-tiba saja menjadi sangat terkenal di seluruh negeri. Perkaranya hanya sepele, dia membuat polling bertajuk “Kagum 5 Juta” yang hasilnya dia unggah di Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 2019.
Hasilnya fatal karena mengundang amarah Umat Islam se-Indonesia. Jelas saja mereka marah karena merasa tersinggung dengan jajak pendapat soal tokoh yang paling dikagumi para pembaca tabloid yang dia kelola itu.
Berdasarkan polling itu, nama Nabi Muhammad berada di peringkat 11 atau satu tingkat di bawah Arswendo.
Sementara empat besarnya adalah Soeharto yang kala itu masih menjadi Presiden RI, disusul BJ Habibie, Soekarno dan posisi keempat musisi Iwan Fals.
Umat Islam Indonesia pun bergolak pada sekitar 17 – 22 Oktober 1990. Bukan hanya di Jakarta, seluruh kota besar juga diwarnai amarah mereka.
Apalagi metodologi dan alasannya membuat polling serta melibatkan nama Nabi Muhammad tidak dijelaskan secara ilmiah.
Bandung misalnya menunjukkan kemarahan yang tidak hanya diwakili mahasiswa, tetapi seluruh lapisan masyarakat, termasuk preman bertato yang KTP -nya menyantumkan Islam sebagai agama dia.
Semua yang berkumpul di Unpad Dipati Ukur berkali-kali meneteskan air matanya, termasuk si preman bertato itu. Mereka terlihat sangat terluka dengan polling dari Arswendo itu. Jika saat itu twitter sudah akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia mungkin nama Mas Wendo, panggilan Arswendo, sudah menjadi trending topic.
Masa itu memang hampir tidak ada yang tidak tahu nama jurnalis top tersebut, sayang dia dikenal dengan nada negatif.
Puncaknya adalah 22 Oktober 1990 di Jakarta. Seluruh elemen Umat Islam pun menggeruduk Kantor Monitor.
Mereka melempari kantor tabloid rujukan penonton televisi dan film tersebut, menerobos ruang redaksi serta berbuat anarkis di sana. Pokoknya apa pun yang mereka temukan dirusak, termasuk komputer kerja wartawan.
Seluruh organisasi Islam, besar dan kecil, garis keras dan moderat, mulai dari NU, Muhammadiyah sampai dengan organisasi pengajian kampung, cuma satu kata, mengecam Arswendo.
Bahkan Nurcholis Madjid yang sudah dikenal sebagai muslim liberal pun geram. Dia merasa disepelekan Arswendo karena usahanya membangun toleransi beragama bertahun-tahun sebelumnya berantakan hanya sebuah polling konyol tersebut.
Mas Wendo pun tidak memiliki lagi tempat berlindung di lingkungan Islam, bahkan sesama seniman seperti Emha Ainun Najib pun angkat tangan.
Arswendo pun kebingungan sampai berlindung di Kepolisian. Dia pun akhirnya menyampaikan permohonan maaf terbuka kepada umat Islam.
Cara penyelamatan jitu pun ditempuh dengan menyeret Wendo ke pengadilan. Setelah vonis lima tahun dijatuhkan dan Tabloid Monitor dilarang terbit pada 23 Oktober 1990 masyarakat pun bisa menerima hukuman tersebut.