Jus, Presiden Jokowi Divaksin Setelah Lolos Pemeriksaan Ini

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Presiden Jokowi divaksinasi Covid19 setelah syarat kesehatannya terpenuhi. Syarat itu antara lain karena tekanan darahnya bagus di posisi 130/67, tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal sehingga ditetapkan layak divaksinasi.

Sebelum mendapat suntikan Jokowi harus melewati pemeriksaan di dua meja. Setelah pendaftaran, Presiden harus menjawab pertanyaan soal kesehatannya tersebut serta diperiksa tekanan darahnya.

“Tekanan darah Bapak 130/67,” ujar tenaga kesehatan yang memeriksanya di Istana Negara, Rabu 13 Januari 2021.

Setelah dinyatakan layak vaksin, Presiden Jokowi menuju meja penyuntikan. Saat vaksin disuntikkan, Presiden memberikan lengan kirinya.

Ketika ditanya vaksinator apakah sakit menerima vaksin, Jokowi menjawabnya tidak terasa sama sekali.

Usai menerima vaksin, Jokowi menuju meja terakhir yang tampaknya sebagai prosedur administrasi vaksinasi.

Usai Jokowi, diikuti dengan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng Fakih dan beberapa tokoh lainnya seperti ulama NU KH Ahmad Ishomuddin, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Idham Azis, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan beberapa tokoh lainnya.

(YouTube @sekretariat presiden)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini