Jejak Wara: Tak Hanya Cantik, Ini Pilot Pertama Penerbang Helikopter di TNI AU

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA-Tepat hari ini, Senin 12 Agustus 2019, merupakan sejarah berdirinya Wanita TNI Angkatan Udara atau Wara. Dalam pembentukannya Wara merupakan realisasi emansipasi wanita. Mereka ingin sama seperti pria, termasuk menjadi anggota militer Angkatan Udara.

Dalam sejarahnya, kaum wanita terkadang diposisikan hanya sebaga pelengkap dan hanya berperan dalam rumah tangga. Namun, dengan kemajuan teknologi, Wara dituntut dua peran, yakni sebagai prajurit TNI AU dan peran dalam rumah tangga, yakni berperan ganda.

Dalam rumah tangga, wanita harus membina putra-putrinya agar menjadi generasi penerus yang berguna bagi nusa dan bangsa. Wanita Angkatan Udara, meski sebagai wanita yang feminine, tidak menghalangi Wara untuk mengukir prestasi maksimal dalam mengemban tugas. Persamaan hak dan kewajiban Wara dengan prajurit pria disamakan.

Jika melihat prestasi dari Wara, sosok Letnan Satu Lulu Lugiyati dan Lettu Herdini Suryanto tercatat sebagai dua perempuan pilot pertama TNI AU yang menjadi bagian dari sejarah karena sebagai perintis penerbangan AU.

Karena, pilot dan dunia penerbangan selama ini dianggap sebagai dunia laki-laki. Sejarah membuktikan, para srikandi Indonesia mampu mematahkan mitos itu salah adanya.

Lulu dan Herdini adalah dua dari 30 anggota Wanita Angkatan Udara (Wara) TNI AU angkatan pertama yang diterima tahun 1963. Mereka juga perempuan pilot pertama Indonesia sejak merdeka tahun 1945.

Nah, saat ini kiprah Lulu dan Herdini menjadi pilot pesawat tempur perempuan Indonesia juga berlanjut hingga sekarang diteruskan sosok Kapten Penerbang Fariana Dewi Djakaria Putri. Dia adalah perempuan pertama yang menjadi penerbang helikopter di TNI AU.

Lahir pada 1 April 1982, putri dari Lilies Yenny Haryani dan Doko Djakaria Koerdi itu semasa kecil tak pernah membayangkan dirinya akan menjadi seorang penerbang. Sebaliknya, seperti keinginan banyak orang, Ana, sapaan akrabnya sedari kecil, malah berniat menjadi dokter, pramugari ataupun polwan.

Siswi lulusan SMA 8 Bandung ini sempat tercatat sebagai mahasiswi jurusan Administrasi Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Bandung (Unpad). Namun, Ana memutuskan berhenti kuliah 2 tahun kemudian dan ‘berbelok’ ke dunia militer.

Karier gemilang Ana dimulai pada tahun 2003, saat dilantik menjadi Wanita Angkatan Udara (Wara TNI-AU). Ana ditarik ke bagian staf keuangan Markas Komando Pasukan Khas (Makopaskhas) selama dua tahun. Tak berlama-lama ditempat itu, selanjutnya dia mengikuti tes seleksi penerbang. Dari 14 Wara, hanya Ana dan Sekti Ambarwaty yang lolos.

Berdasarkan hasil tes, keinginan dan potensi dan bakat Ana lebih condong pada helikopter dibandingkan Fix Wing, pesawat biasa. Padahal. untuk menjadi penerbang helikopter tidaklah mudah karena sistem dan caranya berbeda dibanding menerbangkan pesawat biasa.

Meski memiliki jiwa kompetitif tinggi, Ana mengaku hingga kini masih sulit melepas stigma pilot pesawat tempur adalah dunia laki-laki. “Risiko, menyikapi di dunia pria. Masuk ke militer itu dunia cowok, kaum lelaki. dan perempuan jadi minoritas di situ,” katanya.

 

Berita Terbaru

Hilirisasi Buka Lapangan Pekerjaan dan Arah Ekonomi

Oleh: Winna Nartya *) Dalam perdebatan publik, hilirisasi kerap direduksi menjadi larangan ekspor bahan mentahatau pembangunan smelter. Padahal, substansi kebijakan ini jauh melampaui industri berat. Staf Khusus Menteri Investasi dan Hilirisasi, Sona Maesana, menekankan bahwa hilirisasiadalah soal penciptaan nilai tambah yang berkelanjutan, kemandirian ekonomi, danpembukaan lapangan kerja, serta penentuan arah masa depan bangsa. Ia melihat, daripengalamannya di dunia usaha dan kini di ranah kebijakan, bahwa hilirisasi hanya akanbertahan bila ekosistem investasinya sehat dan ada keberpihakan pada pelaku lokal. Karenaitu, ia menilai sekadar mendirikan pabrik tidak cukup; pertanyaan kuncinya adalah siapa yang menikmati nilai tambahnya dan bagaimana rantai pasoknya melibatkan anak bangsa secaraaktif. Dalam pandangannya, hilirisasi mesti membuka pekerjaan lokal, mengikutsertakan UKM, dan menaikkan kelas pengusaha Indonesia melalui kemitraan yang nyata. Di ranah kebijakan, Sona Maesana menjelaskan pemerintah mendorong integrasi antarapelaku lokal dan asing, memberi insentif bagi investor yang membina industri lokal, sertamenata regulasi yang transparan agar tumpang tindih perizinan berkurang. Ia juga menilaikecepatan dan kepastian perizinan lebih penting daripada angka komitmen investasi di ataskertas, karena tanpa eksekusi yang jelas, angka hanyalah janji. Sebagai jembatan antarabahasa investor dan bahasa pemerintah, ia mendorong cara pandang baru: bukan sekadar“menjual proyek”, melainkan menumbuhkan kepercayaan jangka panjang. Ia pun mengingatkan bahwa hilirisasi tidak berhenti pada mineral dan logam; sektor digital, pertanian, farmasi, hingga ekonomi kreatif perlu masuk orbit hilirisasi melalui keterhubunganstartup kesehatan dengan BUMN farmasi, petani dengan pembeli industri lewat platform lokal, serta skema yang mengkomersialisasikan inovasi kampus.  Di tingkat kelembagaan, peta jalan hilirisasi diperkuat oleh kolaborasi antarpemerintah, industri, dan kampus. Himpunan Kawasan Industri (HKI) menandatangani nota kesepahamandengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, yang disaksikan Presiden Prabowo Subianto. Ketua Umum HKI, Akhmad Ma’ruf Maulana, menyampaikan bahwa kerja sama ini merupakan perwujudan AstaCita untuk mendorong kemandirian ekonomi, memperkuat keberlanjutan, dan mempercepatinovasi teknologi sebagai pilar pertumbuhan. Ia menegaskan peran HKI sebagai penghubungsektor industri, pendidikan, dan pemerintah untuk melahirkan daya saing berbasispengetahuan dan inovasi. Ruang lingkupnya meliputi penyelarasan kurikulum dengankebutuhan industri, kolaborasi riset untuk mempercepat hilirisasi dan menarik investasi, sertapeningkatan daya saing melalui pembentukan SDM industri yang unggul. Contoh konkret hilirisasi yang langsung menyentuh pasar tenaga kerja tampak di Aceh. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah, menyerukan penghentianekspor karet mentah karena pabrik pengolahan di Aceh Barat, yaitu PT Potensi Bumi Sakti, siap beroperasi menampung seluruh produksi lokal. Ia menilai pengolahan di dalam daerahpenting untuk mendorong hilirisasi, membuka lapangan kerja, dan menaikkan kesejahteraan. Pabrik yang berdiri di lahan 25 hektare itu memiliki kemampuan mengolah 2.500 ton karetkering per bulan, dan pemerintah daerah menilai stabilitas serta keamanan investasi harusdijaga agar manfaatnya langsung dirasakan rakyat Aceh. Di klaster pangan–petrokimia, hilirisasi juga dikuatkan melalui kemitraan strategis. DirekturUtama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi, menjelaskan bahwa perusahaanmemperluas kerja sama dengan Petronas Chemicals Group Berhad untuk memperkuatketahanan pangan regional sekaligus mendorong hilirisasi pupuk dan petrokimia di Indonesia. Kolaborasi ini mencakup penjajakan sinergi pasokan urea dan amonia, transfer pengetahuan teknis dan operasional, serta penguatan tata kelola Kesehatan, Keselamatan, danLingkungan (Health, Safety, and Environment/HSE).  Jika ditautkan, tiga simpul di atas, yakni kebijakan investasi yang berpihak pada pelaku lokal, penguatan link–match kampus–industri, dan proyek pengolahan komoditas serta petrokimia, menggambarkan logika hilirisasi yang lengkap. Lapangan kerja tidak hanya muncul di pabrikutama, melainkan juga pada efek pengganda: logistik bahan baku, jasa pemeliharaan mesin, kemasan, transportasi, layanan digital rantai pasok, hingga jasa keuangan dan asuransi. Dengan kurikulum yang diselaraskan, talenta lokal tidak sekadar menjadi tenaga operasional, melainkan juga teknisi, analis proses, dan manajer rantai pasok....
- Advertisement -

Baca berita yang ini