MATA INDONESIA, JAKARTA – Muncul kesan di masyarakat bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja bisa memicu persoalan. Mulai di bidang penataan ruang, pertambangan mineral dan batu bara, perkebunan, kehutanan, kelautan, pengelolaan area pesisir dan pulau kecil, ketenagalistrikan serta keanekaragaman hayati.
Namun hal tersebut langsung dibantah Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono. Menurut dia, RUU Omnibus Law Cipta Kerja tetap mengatur soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam pendirian usaha.
“Masalah lingkungan di RUU Cipta Kerja tetap ada amdal, bukan menghilangkan sama sekali karena amdal tetap perlu tapi akan lebih selektif penerapannya karena dilihat dari risiko, risk based,” kata Dini Purwono dalam diskusi terkait rancangan Omnibus Law Cipta Kerja di gedung Sekretariat Kabinet, Jakarta, Jumat 21 Februari 2020.
Selama ini, kadang-kadang untuk industri yang memang berisiko tinggi, terkorelasi dengan bahan baku yang berbahaya amdal. Tapi amdal juga memberatkan pengusaha untuk industri yang sektornya tidak berbahaya, tapi diwajibkan membuat amdal yang harganya tidak murah.
Bahkan mencapai ratusan juta, tapi sesudah itu dokumen amdal disimpan dan tidak ada pemantauan lagi. Artinya dokumen amdal dengan biaya ratusan juta itu pun menjadi tidak berguna.
“Jadi lebih penting monitoring evaluasi dari waktu ke waktu mengenai efek industri tersebut ke lingkungan. Dari awal disampaikan apa yang tidak boleh dilakukan dan mana yang boleh lalu dilanjutkan dengan monitoring pengecekan secara berkala dan ada sanksi untuk yang melanggar,” kata Dini.
Bahkan dengan aturan tersebut, maka Usaha Mikro, Kecil dan Menegah (UMKM) pun tidak merasa berat dalam membuka usaha dengan persyaratan amdal. Dalam aturan sebelumnya, tidak ada pengawasan di lapangan jadi diputuskan untuk industri-industri berisiko tinggi menggunakan bahan baku berbahaya tetap harus ada dokumen amdal.
Namun kalau yang bahannya tidak berbahaya tinggal diberikan panduan apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan. Dalam RUU Cipta Kerja ini, perlindungan dan pengelolaan lingkungan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pasal 23 angka 24 menghapus tugas dan wewenang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Padahal, kemampuan pemeirntah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah terbatas. Di samping itu kondisi lingkungan setiap daerah berbeda-beda. Usaha wajib memenuhi amdal yang semula diatur dengan 9 kriteria pada pasal 23 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijadikan satu kriteria dengan indikator abstrak.
Dalam RUU Cipta Kerja, izin lingkungan dihilangkan, diganti perizinan berusaha. Hal itu tertera dalam pasal 23 angka 4 tentang perubahan pasal 24 ayat 4 UU No 32 tahun 2009.
Pengawasan dan pemberian sanksi administrasi atas pelanggaran lingkungan juga dapat bermasalah dengan dihapusnya pasal 72, 73, 74, 75 dan mengubah pasal 76 UU No. 32 tahun 2009 akibatnya tidak ada ketegasan instansi yang bertanggung jawab dalam pengawasan lingkungan hidup, pengawasan lapis dua oleh pemerintah pusat, kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan jenis sanksi administrasi.
Terkait tata ruang, pasal 15 ayat (5) menyebutkan pelaku usaha bisa langsung melaksanakan kegiatan usaha setelah ada konfirmasi kesesuaian pemanfaatan ruang. Pasal itu tidak mengatur keharusan adanya partisipasi publik, uji kelayakan lingkungan dan perizinan berusaha final sebelum melakukan kegiatan usaha.
RUU itu juga tidak ditegaskan tentang pengumuman putusan kelayakan lingkungan dengan cara mudah untuk diketahui warga seperti diatur di UU No. 32 tahun 2009.
Ada 3 hal di RUU Cipta Kerja yang dapat melemahkan pengaturan lingkungan hidup, pertama, perubahan pasal-pasal memicu perbedaan interpretasi karena tidak ada penjelasan isi pasal. Kedua, tidak ada norma dan arahan pengaturan lebih operasional. Ketiga, banyaknya kewenangan pemerintah pusat dan luasnya cakupan bidang lingkungan, kapasitas pemerintah bisa tidak sejalan dengan tuntutan tanggung jawabnya yang besar.