MATA INDONESIA, JAKARTA – Peringatan Isra Mi’raj menjadi momentum untuk memperkuat persatuan bangsa dan melawan radikalisme yang memecah belah bangsa.
Hal ini dikatakan Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah. Seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, KH Ali mengatakan,” ”Sudah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaga warisan kemerdekaan ini dari para pendiri bangsa. Karena dengan menjaga NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 inilah perekat seluruh elemen bangsa. Jangan sampai hal ini dikhianati, apalagi dengan mengambil ideologi dari orang luar yang belum pernah teruji kemudian diuji coba di sini,” kata KH Ali yang juga Ketua Pengurus Wilayah Mahasiswa Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyin DKI Jakarta itu,
Ia menjelaskan, Isra Mi’raj adalah suatu peristiwa yang spektakuler yang harus dipahami dengan deretan peristiwa sebelumnya, maka harus dilihat sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW yang mulai berdakwah dari usia 40 tahun, meskipun mendapatkan tantangan dan intimidasi dari masyarakat kafir Quraisy tetap berjuang mendakwahkan Islam.
”Sehingga kalau dikaitkan dengan bangsa Indonesia, hikmah Isra Mi’raj ini memiliki kesamaan dalam perjuangan dulu melawan kolonialisme, yang membuat kondisi masyarakat Indonesia selalu dihantui dengan kecemasan dan ketakutan. Alhamdulillah hasil dari perjuangan para santri, para kiai dan para tokoh masyarakat di Indonesia, Allah memberikan suatu anugerah, yaitu kemerdekaan,” ujar Ali.
Oleh karena itu, menurut dia, peristiwa Isra dan Mi’raj ini hadiah dari Allah kepada Nabi setelah berjuang selama kurang lebih 13 tahun di Makkah hingga istrinya meninggal dunia.
Perjuangan
Maka menurut peristiwa tersebut, harusnya dipahami oleh generasi penerus bangsa Indonesia untuk menghargai perjuangan Nabi dahulu sebagaimana perjuangan bangsa Indonesia menghadapi penjajahan di masa lalu, dan mempertahankan kemerdekaan di masa kini terutama dalam melawan radikalisme dan terorisme yang ingin merusak keutuhan bangsa.
Kiai Ali menyebut, di Madinah inilah Nabi membuat sebuah aturan berbangsa dan bernegara, di mana masyarakat Madinah saat itu terdiri dari berbagai suku dan agama.
Nabi mampu menjadi pemimpin yang bisa diterima oleh semua rakyatnya baik yang beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Dan dapat diterima dengan baik oleh para kepala suku yang ada di sana.
”Rasulullah menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin yang bisa hadir di tengah-tengah masyarakat. Konsep yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu konsep Piagam Madinah yang dalam konteks Indonesia ini kemudian diadopsi dengan bentuk Pancasila,” ujarnya.
Pancasila menurut KH Ali adalah model Piagam Madinah yang dicetuskan oleh para ulama dan para pendiri bangsa Indonesia, karena semua umat beragama, suku, semua dinaungi di bawah NKRI.
Sistem dalam Piagam Madinah adalah sistem yang menghormati kebhinekaan, menghormati kelompok lain yang tidak sejalan, termasuk terhadap umat Nasrani, Majusi, dan Yahudi. Semua diberikan penghormatan dan juga hak-haknya.