Ini Tanggapan Para Cendekiawan Yogya Soal Pemindahan Ibu Kota Negara

Baca Juga

MATA INDONESIA, YOGYAKARTA-Rencana pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan memang menjadi banyak sorotan banyak pihak. Tak jarang banyak menuai pro dan kontra dalam melakukannya.

Hal itu menjadi bahasan menarik para cendekiawan Yogya. Rektor Universitas Widya Mataram yang juga Ketua Dewan Pakar ICMI DIY mengatakan setuju dengan rencana pemerintah memindahkan ibu kota Jakarta ke Luar Jawa karena Jakarta sudah over populated dengan segala implikasinya.

Beban berat Jakarta sebagai pusat birokrasi, pusat perekonomian perdagangan finansial, pusat lalulintas global-domestik, dll, mengurangi konsentrasi ekonomi di DKI dan sekitarnya.

Menurutnya, perlu penyebaran pembangunan ke daerah dan menciptakan growth center-growth center baru. “Ibu kota pemerintahan dibuat beda dengan “Ibu kota” Bisnis, pengalaman beberapa negara,” katanya.

Soal pemindahan kata dia, perlu kajian yang mendalam dalam memilih lokasi baru. Dengan melakukan diskusi publik yang meluas, dari semua pihak terkait, termasuk lokasi calon IKN. “Intinya jangan dilakukan tergesa-gesa,” katanya.

Menurutnya, perlu adanya keterlibatan masyarakat dengan melakukan sayembara atau kompetisi untuk berbagai desain gedung dan ruang publik yang akan dibangun sehingga ada kepedulian dan rasa dilibatkan.

Tak hanya itu, sistem anggarannya harus jelas dan melalui study kelayakan mendalam untuk mencapai angka yang lebih akurat dan sumber yang jelas.

Sebaiknya pemindahan ibu kota 2024 ditunda dan dilakukan pengkajian lebih dalam lagi. Mengapa? Menghindari risiko kegagalan dan high cost economy.

Memfokuskan kegiatan Pemerintah dalam atasi Covid-19, anggaran negara saat ini sedang sulit karena utang dan lain-lain.

Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim mengatakan Jakarta memang tidak lagi ideal, Jakarta berada di pulau Jawa yang kepadatannya itu sangat tinggi.

Tapi sebenarnya persoalan DKI itu karena problema ‘pemusatan’ karena semua berada di Jakarta mulai dari pusat pemerintahan sampai ekonomi semua berada disana.

Menurutnya, ada dua pemusatan yang harus diperhatikan yang pertama, pemusatan vertical yaitu kuasa yang besar di pemerintah pusat sehingga daerah tidak banyak kuasa.

Kedua, pemusatan horizontal, yaitu ketika semua sektor berpusat disana, bahkan NU dan Muhammadiyah pun berkantor di Jakarta sehingga kehilangan basis sosialnya sebenarnya. Sehingga orientasi berfikir ya NU dan Muhammadiyah jadi soal Politik Nasional tidak lagi cukup untuk Politik yang menyebar.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Nandang Sutrisno mengatakan pembiayaan yang sangat besar akan membebani masyarakat, pengawasan dari masyarakat juga harus tetap jalan, sehingga pintu-pintu korupsi itu dapat diminimalisir.

“Perpindahan ibukota itu sebuah keniscayaan hanya saja, jangan dipaksakan dalam kondisi seperti sekarang, banyak persiapan yang harus kita lakukan yang perlu melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya,” katanya.

Menurutnya aspek-aspek diatas harus menjadi pertimbangan, untuk itu rencana pemindahan ibukota harus dikawal agar bisa memperoleh hasil yang terbaik.

ukan perkara main-main

Memindahkan ibukota itu, bukan perkara main-main, ini adalah pekerjaan besar yang akan mengubah sejarah, bahkan banyak urusan dalam rencana pemindahan ibukota ini yang dilakukan jauh dari pengawasan publik.

“Kita sebagai cendekiawan, dan sebagai ilmuwan bertanggung jawab untuk mengawal program yang maha besar ini,” katanya.

Reporter: Muhammad Fauzul Abraar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Prabowo Pastikan Keberlanjutan Pembangunan IKN guna Pemerataan Ekonomi yang Inklusif

Oleh: Mirza Ghulam Fanany*) Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya untuk memastikan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai bagian dari...
- Advertisement -

Baca berita yang ini