MATA INDONESIA, JAKARTA – Danau Sentani tiba-tiba menjadi menarik perhatian karena menyimpan misteri peninggalan prasejarah di sekeliling dan bawah airnya. Tetapi, kata Sentani bukan sekadar menamai perairan yang terbentang antara Kota dengan Kabupaten Jayapura melainkan daerah sekitarnya.
Nama itu sebenarnya relatif baru karena diberikan Pemerintah Kolonial Belanda, padahal daerah itu sudah dihuni manusia sekitar abad ke-18.
Saat itu, masyarakat setempat memberi nama wilayah sekitar danau seluas 9.360 hektar dan di ketinggian 75 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu dengan sebutan Phuyakha.
Itu berasal dari dua kata yaitu Phu dan Yakha. Phu artinya “air” dan Yakha artinya terang, kelihatan, nampak. Jadi kata itu berarti “air yang tenang.”
Namun, Penjajah Belanda memiliki pemikiran lain saat masuk wilayah tersebut tahun 1898, terutama setelah melihat mata pencarian masyarakat sekitar danau sebagai petani.
Tanah di sekitar danau memang sangat subur karena danau itu karena dialiri lebih dari 10 anak sungai yang berhulu di Pegunungan Cycloop.
Menurut Nathan Dayme di blog Pealtwo.Wordpress.Com, penjajah Belanda bermaksud membuat daerah tersebut sebagai pusat perkebunan dan pertanian untuk memasok kebutuhan sayur maupun buah-buhan Kota Holandia sekarang Jayapura.
Mengutip Buletin Dafonsoro yang terbit 1960-an, Nathan mengungkapkan orang-orang Belanda menyebut daerah tersebut dengan nama “Sentral Pertanian” yang kemudian disingkat menjadi “Sentani.”
Saat itu, Belanda pernah mengusahakan menanam kelapa, kopi, coklat dan sayur-mayur dalam skala besar.
Namun, banjir di musim hujan sering menghabisi hasil pertanian tersebut, sehingga pusat pertanian dipindah ke daerah Genyem di selatan danau.
Jadi, Sentani adalah nama daerah yang terdiri dari 20 kampung dan suku. Kini, tidak lagi dikenal dengan pertaniannya tetapi menjadi destinasi wisata akibat keindahan alam serta peninggalan prasejarah yang sangat banyak di kawasan itu.