MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejumlah rekomendasi dikeluarkan oleh Setara Institute kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2025. Rekomendasi tersebut sebagai harapan untuk meningkatkan perlindungan dan penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Berikut sejumlah rekomendasi yang dipaparkan oleh Setara Institute.
Pertama, Setara Institute menyarankan agar pemerintahan Jokowi fokus untuk penyelesaian kasus-kasus HAM yang tertunda, sebagaimana tertuang dalam Nawacita Jilid I.
“Untuk membantu penyelesaian masalah tersebut, maka perlu dibentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran,†kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani saat ditemui di Bakoel Coffe Cikini, Jakarta, Selasa 10 Desember 2019.
Kedua, pemerintahan Jokowi diharapkan bisa mengintegrasikan paradigma HAM dalam perencanaan pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan indikator-indikator yang presisi dan berbasis pada disiplin hak asasi manusia.
Ketiga, pemerintah juga perlu mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RKHUP yang berperspektif HAM, RUU Perubahan UU ITE, RUU Kehutanan, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perubahan UU HAM, dan Omnibus Law dalam sektor ekonomi.
Keempat, rencana pembangunan ekonomi, bisnis dan investasi dalam kabinet Jokowi di periode kedua ini harus sesuai dengan paradigma HAM sehingga pelaksanaan pembangunan bisa sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
“Obsesi investasi juga harus tetap dalam kerangka menjalankan amanat Pasal 33 UUD Negara RI, yang menempatkan negara sebagai yang supreme dan menguasai seluruh perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak,” ujar Ismail.
Kelima, pemerintahan Jokowi juga dianjurkan untuk mengadopsi dan memastikan United Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights sebagai barikade rezim investasi dan pembangunan sehingga tidak menambah daftar panjang pelanggaran HAM pada sektor bisnis dan ekonomi.
Keenam, pengutamaan agenda penanganan intoleransi, radikalisme dan terorisme harus berpusat pada kerangka demokrasi dan HAM.
“Sebab, penanganan intoleransi dan radikalisme sebagaimana diperagakan dalam beberapa bulan oleh kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin justru menjauhkan semangat perlindungan kebebasan sipil warga,†kata Ismail.
Ketujuh, pemerintahan Jokowi juga perlu mengadopsi dan memastikan tata kelola yang inklusif (inclusive governance) dalam menangani intoleransi, radikalisme dan terorisme, guna mewujudkan masyarakat inklusif yang punya ketahanan terhadap virus intoleransi dan radikalisme.
Kedelapan, diharapkan agar rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2020-2024 disusun secara lebih realistis dan presisi.
“Selama ini RANHAM sangat abstrak sehingga menyulitkan pemerintah sendiri dalam mengimplementasikannya,†ujar Ismail.
Kesembilan, membuka akses utusan-utusan khusus PBB melakukan kunjungan, dialog dan pemantauan kondisi HAM di Indonesia termasuk dan terutama untuk Pelapor Khusus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi, dan Pelapor Khusus untuk Pembela HAM.
“Termasuk membuka kemungkinan pemantauan langsung Pelapor Khusus PBB di Papua dan Papua Barat,” kata Ismail.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil Laporan Indeks Kinerja HAM 2015-2019 yang dirilis Setara Institute, ada kemajuan dalam kinerja memajukan HAM oleh pemerintahan Jokowi. Dari skala skor 1-7, pada 2015 pemerintahan Jokowi mencatat pemajuan HAM pada skor 2,45. Kemudian pada penghujung 2019, skor meningkat menjadi 3,2.
“Meskipun ada peningkatan, kenaikannya tidak signifikan karena masih di bawah angka moderat empat†ujar Ismail.