MATA INDONESIA, JAKARTA-Indonesia sempat tercatat sebagai produsen utama dunia dengan menduduki peringkat pertama dengan produksi mencapai 47,38 juta ton saat moratorium diterapkan pada 2018, seperti dilaporkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Bahkan, produksi CPO dan PKO sempat naik menjadi 51,82 juta ton setahun kemudian. Sayangnya, produksi kembali menurun pada 2020 menjadi 51,58 juta ton.
Dengan produksi yang melampaui 50 juta ton per tahun, Indonesia masih memegang posisi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan serapan sebanyak 16 juta tenaga kerja.
Harus diakui, pandemi juga telah mengkoreksi kinerja produk minyak sawit. Pasalnya, sejumlah negara importir mengurangi serapan produk asal Indonesia tersebut.
Untungnya, penurunan volume tidak secara otomatis menurunkan nilai ekspor komoditas itu. Sebaliknya, nilai ekspor pada 2020 naik menjadi 22,97 miliar US dolar dari sebelumnya 20,20 miliar US dolar karena kenaikan harga CPO.
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis dan Perkebunan Kemenko Perekonomian Moch Edy Yusuf mengatakan, industri sawit telah menjadi salah satu industri unggulan dalam menopang pertumbuhan ekonomi RI.
Apalagi pada masa pandemi Covid-19, industri sawit paling tahan banting sehingga memberikan kontribusi terbesar kepada PDB Indonesia.
“Indonesia adalah produsen terbesar sawit dunia maka tidak heran industri sawit nasional memberikan peranan penting dalam perekonomian RI yang belum tergantikan sampai saat ini,” ujarnya.
Setidaknya, terdapat empat manfaat industri kelapa sawit terhadap perekonomian Indonesia yang bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, padat karya, industri sawit sudah menyerap tenaga kerja langsung 4,20 juta dan pekerja tidak langsung 12 juta orang. Kedua, setiap tahunnya industri sawit berkontribusi sebesar 3,50 persen terhadap total PDB Indonesia.
Ketiga, berkontribusi 13,50 persen terhadap total ekspor nonmigas. Keempat, menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan.
Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, ISPO merupakan senjata ampuh untuk melawan kampanye negatif sawit di Eropa.
Selama ini, UE selalu meminta sertifikat sawit berkelanjutan dan Indonesia sudah mempunyai ISPO untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perusahaan sawit anggota Gapki sudah 80 persen yang kini mempunyai ISPO dan akan terus didorong penerapannya.
Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono mengatakan, secara internal perusahaan kelapa sawit berupaya meningkatkan produktivitas seperti yang diminta pemerintah. “Peningkatan produktivitas ditempuh dengan peremajaan tanaman tua, pemupukan, dan lainnya. Untuk investasi baru sama sekali tidak ada,” kata Eddy.
Sejauh ini, perusahaan kelapa sawit anggota Gapki tetap peduli pada peningkatan produktivitas serta membantu pemerintah dalam percepatan peremajaan sawit rakyat.